21 Februari 2023 – 26 Oktober 2045
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target keterlibatan negara dalam kelompok negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045 dengan tetap berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, termasuk mengurangi deforestasi. Untuk mencapai kedua target tersebut, Pemerintah merencanakan pembangunan tata guna lahan dengan emisi rendah, inklusif, terintegrasi, dan terinformasi, yang berkontribusi dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Namun, perluasan lahan pertanian, perkebunan, dan proyek infrastruktur memerlukan konversi kawasan hutan untuk mendukung pembangunan ekonomi. Keuntungan yang lebih rendah dan pengoperasian bisnis kehutanan yang tidak efisien saat ini juga mendorong konversi hutan yang lebih luas menjadi penggunaan lahan lain. Strategi dan rencana tata kelola yang lebih baik diperlukan untuk mengatasi masalah kompleks politik lokal, unit pengelolaan hutan, rencana tata ruang, revegetasi kawasan bekas tambang, pengelolaan kebakaran, pengelolaan daerah aliran sungai, produktivitas lahan hutan, keterlibatan sosial, reformasi lahan, dan aspek hukum. Upaya nemperbaiki aspek-aspek tata kelola ini sangat penting untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memastikan efek deforestasi hingga seminim mungkin.
Hasil studi ini membahas kemungkinan tercapainya target pemerintah untuk mengakhiri deforestasi dan menempatkan Indonesia di antara negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045. Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa tanpa perbaikan dalam pengelolaan dan tata kelola hutan, target Pemerintah untuk menempatkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan tinggi sebesar 2045 akan tertunda sekitar sepuluh tahun, dengan kehilangan hutan yang lebih signifikan. Studi ini juga mengusulkan beberapa strategi potensial untuk meminimalkan deforestasi dan terus memperoleh pendapatan per kapita yang lebih tinggi di tahun-tahun mendatang.
Tim Peneliti:
1. Dodik Ridho Nurrochmat (Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan & Lingkungan, IPB)
2. Suryanto (Program Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, IPB, Badan Standarisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia)
3. Nugraha Akbar Nurrochmat Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan & Lingkungan, IPB)
4. Suria Tarigan (Departemen Ilmu Tanah dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan, IPB)
5. Dewi Lestari Yani Rizki (KEMITRAAN – The Partnership for Governance Reform)
6. Irendra Radjawali (KEMITRAAN – The Partnership for Governance Reform)
7. Hery Sulistio (KEMITRAAN – The Partnership for Governance Reform)
Baca selengkapnya di Jurnal Forest Policy & Economics edisi Maret 2023
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.