Nama Fatia Maulidiyanti belakangan ramai diperbincangkan. Sebabnya, ia dituduh mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhu Binsar Panjaitan. Tuntutan tersebut dilayangkan setelah keduanya membahas hasil penelitian terkait keterlibatan Luhut pada bisnis pertambangan di Blok Wabu, Papua.
Jaksa penuntut umum menilai Fatia dan Haris Azhar melanggar Pasal 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang – Undang ITE, Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946, dan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan.
Fatia dikenal sebagai sosok yang vokal mengkritik siapapun yang semena-mena dan melanggar hukum. Di berbagai kasus di mana masyarakat biasa yang menjadi korban keswenang-wenangan penguas, Fatia kerap pasang badan.
Bagi Fatia, negara yang menganut sistem demokrasi haruslah menegakkan hukum setinggi-tingginya. Hukum tak boleh tajam ke bawah namun tumpul ke bawah. Pada Februari kemarin, KEMITRAAN berbincang dengan Fatia tentang masa depan demokrasi di Indonesia, kebebasan berekspresi, serta Pemilu 2024. Yuk, simak perbincangan lengkapnya di podcast berikut.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.