Siapa sangka, kasus penganiayaan yang dilakukan kepada seorang remaja berujung pada gegernya satu negara. Dimulai dengan gelombang perilaku pamer harta para pejabat negara di media sosial sampai dengan praktik dugaan pencucian uang senilai Rp 300 triliun lebih yang akhirnya menimbulkan runtuhnya kepercayaan publik terhadap institusi yang selama ini menjadi salah satu sumber uang negara, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan. Kejadian ini, seharusnya tidak terjadi jika Kementerian Keuangan selalu mekakukan pengawasan ketat pada kedua Direktorat Jenderal tersebut karena kasus serupa pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Dalam menyikapi perkembangan tersebut Menteri Keuangan, Sri Mulyani berjanji akan melakukan bersih-bersih dan menggulirkan ide reformasi jilid 2 di instansinya, terutama untuk jajaran Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea Cukai, namun sampai hari ini langkah-langkah tersebut belum kita lihat tidak lanjutnya. Dalam pertemuan dengan beberapa pakar dan pegiat anti-korupsi beberapa minggu yang lalu, kami mengusulkan agar Kementerian Keuangan meningkatkan mekanisme pengawasan pada Direktorat Jenderan Pajak dan Bea-Cukai dengan melakukan verifikasi lebih mendalam seputar kepatuhan para pegawai internal dalam menyetorkan dan melaporkan dokumen perpajakan mereka.
Diskusi juga mengusulkan bahwa proses reformasi jilid 2 harus melakukan audit peraturan untuk menutup celah benturan kepentingan (conflict of interest), serta besarnya kewenangan diskresi yang dimiliki pejabat perpajakan dan bea cukai. Disamping itu, jejaring stake holders perpajakan seperti: pegawai, konsultan, pengacara, sampai hakim perpajakan, perlu direformasi secara signifikan agar tidak menumpuk pada satu kelompok yang makin menyuburkan kolusi dan nepotisme.
Perlu diingat bahwa walaupun conflict of interest dilarang oleh beberapa undang-undang nasional, tapi Indonesia belum memiliki pedoman Pengelolaan Benturan Kepentingan (Conflict of Interest Management) sampai dengan hai ini, sehingga sangat berbahaya. Oleh karena itu, KEMITRAAN melalui program USAID INTEGRITAS sedang melakukan studi dan hasilnya menunjukkan bahwa masih banyak kesenjangan dalam pengelolaan konflik kepentingan di sektor publik. Mulai dari regulasi yang belum memadai, rendahnya internalisasi dan pemahaman pejabat publik terhadap pengelolaan konflik kepentingan, hingga terbatasnya dukungan kelembagaan yang mumpuni untuk mengelola konflik kepentingan.
Semoga saja, aksi pamer harta para pejabat negara ini kembali menyadarkan pemerintah dan parlemen untuk segera menyelesaikan dan mengundangkan RUU Perampasan Aset yang telah lama ngendon di DPR dan sempat ditolak pembahasannya beberapa waktu yang lalu dan bahkan hilang dari daftar prioritas Prolegnas di DPR. UU Perampasan Aset kian mendesak untuk disahkan, agar setiap penyelenggara negara dan Aparat Sipil Ngara (ASN) yang memperkaya diri sendiri dengan tidak sah (illicit enrichment) dan yang tidak dapat menjelaskan asal usul harta kekayaannya (unexplained wealth) dapat ditindak oleh Aparat Penegak Hukum dan hartanya dapat dirampas oleh negara dengan lebih gampang.
Perlu diingat bahwa banyak sekali kasus-kasus illicit enrichment dan unexplained wealth, serta transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction) yang dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendapat kesulitan untuk ditindak lanjuti oleh Aparat Penegak Hukum (APH) karena kekosongan hukum nasional kita untuk merampas harta para perampok keuangan negara. Jangan sampai rebut-ribut di media sosial dan mainstream media yang sedang terjadi sekarang hanya berakhir dalam keramaian publik tapi negara gagal untuk menindak para pelakunya..
Oleh karena itu, sudah saatnya negara membersihkan diri dari oknum pejabat dan ASN yang menghisap uang negara demi untuk kepentiangan diri dan keluarganya agar keuangan negara dapat dimanfaatkan untuk seluas-luasnya kesejahteraan rakyatnya. Publik perlu mengawal sekaligus mengawasi momentum reformasi di Kementerian Keuangan yang dijanjikan oleh Menteri Keuangan, untuk memastikan penerapan prinsip integritas, transparansi dan akuntabilitas berjalan dengan baik dan para pelanggarnya ditindak dengan tegas
Pada saat yang sama, kita juga harus mengajak masyarakat untuk meningkatkan peran serta mereka dalam mengawasi kinerja dan perilaku dari ASN dan pejabat publik agar Indonesia tidak dirusak oleh para pejabat hedon dan nir moral yang merusak negeri. Protes publik atas perilaku sejumlah pejabat publik yang pamer kekayaan yang tidak sesuai dengan penghasilan mereka harus dilihat oleh pemerintah sebagai peringatan terakhir, agar negara ini tidak terjerumus dalam kerusakan dan kegelapan.
Semoga momentum Bulan Suci Ramadan menjadi saat yang baik untuk refleksi dan introspeksi agar kita semua kembali menjadi insan suci yang selalu menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai kebajikan dan integritas yang diajarkan oleh semua agama dan leluhur kita semua.
Salam Perjuangan,
Laode M. Syarif
Artikel ini telah dimuat di Kabar KEMITRAAN Maret 2023
Berlangganan newsletter KEMITRAAN melalui tautan ini.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.