Korupsi transnasional termasuk salah satu kejahatan yang paling kompleks, sistemik, dan berpengaruh bagi negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Oleh karena itu penting bagi berbagai negara untuk saling bekerjasama dalam menanggulanginya.
Selasa (22/3/2022), Indonesia menjadi tuan rumah dalam forum parlemen dunia, Inter Parliamentary Union (IPU) ke-144 di Bali. Dalam diskusi panel bertajuk Kerja Sama Internasional untuk Penindakan Korupsi dan Pemulihan Aset, dua perwakilan Indonesia menjadi pembicara dalam diskusi ini, yakni Fadli Zon dan Laode M. Syarif.
Fadli Zon selaku Kepala Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) dan Wakil Ketua Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) menegaskan untuk, “Memberantas korupsi tidak cukup dengan memberikan hukuman kepada koruptor, tetapi penting untuk mengembalikan aset negara yang dikorupsi.”
Menurut data Stolen Asset Recovery Initiative, sebanyak 12,5 miliar dollar AS atau Rp. 179,2 triliun tercatat sebagai aset hasil korupsi yang harus dikembalikan ke otoritas negara. Namun, hanya 1,8 miliar dollar AS yang baru dikembalikan. Sisanya sebanyak 888,7 juta dollar AS masih dalam proses hukum, dan aset senilai 10,3 miliar dollar AS masih dibekukan karena masih menunggu keputusan pengadilan.
Proses persidangan ini acap kali berjalan hingga bertahun-tahun. Oleh karenanya, Fadli yang juga Wakil Ketua DPR RI mengatakan bahwa, “Parlemen memiliki kewajiban untuk menghilangkan hambatan dalam upaya pemulihan aset negara yang dicuri.”
Dalam forum ini, Fadli juga mengusulkan beberapa langkah yang dapat dilakukan badan legislatif, diantaranya;
Membuat undang-undang atau mereformasi hukum berkaitan dengan pemulihan aset termasuk yang tidak memerlukan penuntutan hukum atau NCB (non-conviction based asset).
Setiap negara harus membuat dasar hukum yang kuat agar berbagai jenis bantuan hukum bersama atau mutual legal assistance (MLA) dapat dijalankan.
DPR di setiap negara perlu memperkuat komitmen politik dan membangun kerja sama antar negara agar aset yang dikorupsi dapat dipulihkan, serta;
Membangun sistem yang mengawasi proses pemulihan aset dan penggunaan dana yang dikembalikan ke negara.
Selain itu, Laode M. Syarif selaku Direktur Eksekutif KEMITRAAN dan Wakil Ketua KPK 2015-2019 menambahkan, “Kerja sama internasional juga perlu diperkuat agar mempercepat proses penindakan tindak pidana korupsi lintas batas negara. Kerjasama internasional dapat dilakukan melalui kerja sama antar lembaga penegak hukum, Mutual Legal Assistance (MLA), saluran Interpol, dan mekanisme deportasi, tapi sampai saat ini belum mampu menangani kasus korupsi secara cepat dan efektif.”
Laode mencontohkan Nazarudin yang terjerat kasus korupsi Wisma Atlet, sempat kabur ke Singapura, Vietnam, Kamboja, hingga kemudian berhasil ditangkap di Kolombia. Penangkapan Nazarudin terjadi karena kerjasama konkret antara aparat penegak hukum di berbagai negara. Laode juga menyatakan bahwa seharusnya ada sanksi internasional untuk negara yang tidak kooperatif dalam investigasi dan proses pemulihan aset kalau kita menginginkan pemulihan aset yang efektif.
“Gerakan anti korupsi juga harus dimulai dari dalam negeri dengan memastikan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif bebas dari korupsi. Di samping itu pemerintah dan DPR harus segera mengundangkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset agar dapat dijadikan dasar hukum bagi pemulihan aset di Indonesia. Penguatan kapasitas dan independensi dari KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga perlu ditingkatkan, khususnya dalam menginvestigasi berbagai kasus korupsi politik,” tambah Laode.
Setelah diskusi, Ketua DPR RI, Puan Maharani mengatakan bahwa badan legislatif berkomitmen untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi. Terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, ia mengingatkan, setiap proses legislasi memakan waktu. Semua RUU yang akan dibahas harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terlebih dahulu.
Sumber:
Setiap Tahun, Sebanyak Rp 37.284 Triliun Hilang akibat Korupsi – Kompas.id
Bicara Pemberantasan Korupsi di IPU, Laode Syarif Pamer Kasus Nazaruddin (detik.com)
Fadli Zon Minta Parlemen Dunia Fokus Pulihkan Aset dari Tindak Pidana Korupsi (voi.id)
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.