Setelah dua dekade reformasi, terdapat indikasi kuat adanya kemunduran atas capaian reformasi politik dan hukum yang berimbas pada menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa indikator, di antaranya penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari 40 (2019) menjadi 37 (2020), Indeks Demokrasi dari 6,48 menjadi 6,3 dan Rule of Law Index tahun 2020 yang menempatkan posisi Indonesia di 58 dari 128.
Pada level kinerja kementerian dan lembaga, persepsi publik juga menjadi alarm bersama. Misalnya hasil survei Indonesia Political Opinion terhadap kinerja 100 hari kabinet menyebut sektor pemberantasan korupsi mengalami penurunan signifikan, begitu juga dengan penegakan hukum dan HAM. Kinerja Kemenkumham juga mendapatkan predikat sebagai terburuk kedua dari seluruh kementerian, serta Polri dan MA menjadi yang terendah di lembaga non kementerian.
Kondisi di atas menjadi salah satu latar belakang Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mohammad Mahfud MD mengajak KEMITRAAN dan organisasi non pemerintah lainnya yang fokus pada isu pemberantasan korupsi, penegakan hukum, penegakan HAM dan isu keamanan selama beberapa waktu terakhir.
Persoalan utama mengapa Indonesia memiliki kemunduran dalam agenda reformasi, setelah dua dekade adalah Dalam diskusi, Hal ini terungkap dalam sambutan Mahfud MD pada kegiatan penandatangan kerja sama antara Kemenko Polhukam dengan KEMITRAAN (3/11/2021).
“Saya datang ke KEMITRAAN, mendiskusikan fenomena berbagai sektor kehidupan politik yang dirasakan agak turun. IPK (Indeks Persepsi Korupsi), indeks demokrasi dan penegakan hukum turun. Keadilan naik satu tapi yang lain turun banyak.” Jelasnya.
Beliau menyebut selain kinerja pemerintah harus ditingkatkan, penting juga mengelola persepsi publik.
“Persepsi publik bukan tentang benar-salah, tapi pendapat masyarakat ketika melihat fenomena. Oleh karena itu pemerintah juga bertanggungjawab untuk membuat persepsi publik baik.” Ungkapnya di hadapan Sesmen, seluruh deputi serta staf ahli Kemenko Polhukam yang hadir pada kegiatan penandatanganan MoU tentang Dukungan Dalam Penyelenggaraan Koordinasi, Sinkronisasi, dan Pengendalian di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang berdurasi tiga tahun.
Mahfud menyebut, kerjasama ini juga sekaligus menjadi bukti bahwa dalam kerja-kerjanya pemerintah selalu terbuka, termasuk kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil.
“Negara maju itu jika ada kerja sama antara pemerintah dan civil society. Kalau jalan sendiri-sendiri, nanti demokrasinya macet.” Sambungnya.
Sementara itu, Laode M. Syarif dalam sambutannya, setelah terlebih dahulu menandatangani dokumen MoU bersama Sekretaris Kemenko Polhukam, Letjen TNI Tri Suwandono, menyampaikan terima kasih atas kepercayaan Pak Menteri dan jajaran kepada KEMITRAAN.
Laode menyampaikan, KEMITRAAN di tahun awal keberadaannya fokus pada kerja-kerja di bidang hukum, politik dan keamanan.
“Kita mendukung kerja-kerja penegakan hukum, salah satunya sektor anti korupsi dengan mengawal pendirian KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Jika ingin tahu latar belakang pendirian KPK, kami (KEMITRAAN) punya dokumen prosesnya lengkap.” Ujarnya.
Pada bidang politik, Laode juga menyebut kontribusi lembaga yang dipimpinnnya pada pendirian Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta kerja-kerja penguatan demokrasi lainnya.
Dia menjelaskan saat ini peta donor yang membantu Indonesia tidak lagi seperti di awal reformasi, dan telah beralih kepada isu hutan dan perubahan iklim.
“Negara-negara lain telah melihat demokrasi di Indonesia sudah relatif baik, kualitas penegakan hukum juga terus meningkat. Meskipun pada kenyataannya tetap perlu terus didorong untuk menjadi lebih baik lagi.” Ungkapnya.
Oleh karena itu, Laode dan lembaganya tetap akan membantu kerja-kerja Kemenko Polhukam yang merupakan kerja utama KEMITRAAN. Meskipun dia juga mengingatkan prosesnya tidak bisa cepat.
“Perlu disampaikan, hasilnya memang tidak bisa cepat. Tapi kita tidak bisa berkecil hati dan harus tetap optimis untuk melakukan pembenahan.” Jelasnya.
Pasca MoU, kedua belah pihak akan melakukan pemetaan terhadap agenda reformasi yang akan jadi prioritas.
“Proses pemetaan akan melibatkan instansi pemerintah terkait, tokoh masyarakat, dan organisasi masyarakat sipil agar dapat menyelaraskan penyusunan rencana aksi reformasi hukum -termasuk di bidang penegakan hukum, anti korupsi dan HAM-, politik dan keamanan,” ungkap Laode.
Ditulis oleh: Arif Nurdiansah. Penulis Bekerja di Partnership for Governance Reform (KEMITRAAN).
Artikel ini adalah opini penulis. Artikel ini pernah tayang di Kumparan.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.