Jakarta, 8 Desember 2022 – Ketua Mahkamah Agung RI, Muhammad Syarifuddin dan Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan HAM Indonesia resmi membuka Asia Pacific Justice Forum (APAC Justice Forum) di Jakarta tanggal 8 Desember 2022. Asia Pacific Justice Forum adalah seminar internasional yang dilaksanakan selama dua hari (tanggal 8 dan 9 Desember 2022) dengan fokus membangun kolaborasi guna mendorong supremasi hukum, khususnya independensi peradilan, ekosistem regulasi terkait informasi yang sehat dan kebebasan berekspresi, serta akses terhadap keadilan bagi kelompok minoritas.
Forum tersebut muncul setelah dirilisnya World Justice Project (WJP) Rule of Law Index® 2022, yang menemukan bahwa supremasi hukum telah menurun secara global selama lima tahun berturut-turut. Menurut data, supremasi hukum menurun di 71% negara yang diteliti di kawasan Asia Pasifik tahun ini. Forum ini akan membahas beberapa masalah aturan hukum yang paling mendesak di kawasan ini.
Setelah melalui proses konsultasi dengan para pemangku kepentingan di Asia Pasifik, para peneliti World Justice Project mengidentifikasi tiga isu yang sangat mendesak bagi negara hukum di Asia Pasifik, yaitu independensi peradilan, regulasi terkait informasi yang sehat untuk kebebasan berekspresi dan akses terhadap keadilan bagi kelompok minoritas. Topik-topik ini akan menjadi fokus Asia Pacific Justice Forum di Jakarta dan strategi regional tiga tahun mendatang yang diluncurkan World Justice Project pada acara tersebut.
Ketua Mahkamah Agung, M. Syarifuddin, dalam pidato sambutannya memberikan perhatian terhadap permasalahan mengenai kebebasan berekspresi. “Di tengah-tengah kekhawatiran masyarakat terhadap menyempitnya ruang atas kebebasan berekspresi, saya ingin menyerukan kepada para hakim agar semakin peka terhadap dimensi HAM dalam perkara-perkara yang masuk ke pengadilan. Jaminan perlindungan HAM dalam konstitusi kita, UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, serta berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, menuntut para hakim di semua tingkatan peradilan di Indonesia untuk selalu merujuk dan mempergunakan berbagai ketentuan ini, bersama-sama dengan ketentuan pidana yang berlaku. Hanya melalui putusan-putusan yang berkualitas, yang memiliki pertimbangan hukum yang komprehensif, maka fungsi pengadilan sebagai pelindung hak asasi manusia dalam konsep rule of law, dapat kita wujudkan.”
Edward Omar Sharif Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan HAM, menekankan pada akses keadilan pada kelompok minoritas. “Terminologi minoritas di Indonesia lebih bersifat teoritis daripada legal. Dalam pengertian ini, sistem hukum kita tidak menganggap kelompok tertentu lebih rendah dari yang lain, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sistem hukum kita, bagaimanapun, mempromosikan kebijakan emansipatoris bagi kelompok rentan, misalnya anak-anak, perempuan, masyarakat adat, dan orang lanjut usia. Relevan dengan hal ini, salah satu kebijakan kita sejak lama bahwa pemerintah baik pusat maupun daerah menyediakan dana bantuan hukum di seluruh tanah air. Kelompok miskin dan rentan menjadi sasaran kebijakan ini. Tahun ini saja, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mengeluarkan 36 miliar rupiah yang didedikasikan untuk hampir sepuluh ribu kasus. Memang masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah hukum kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat luas, terutama yang rentan.”
Turut hadir dalam acara ini secara virtual, Margaret Satterthwaite, UN Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers. Menurut pengamatan Margaret, selama dua tahun terakhir pandemi COVID-19, sebagian besar negara mengalami tantangan serius yang berujung pada peningkatan otoritarianisme dan pelanggaran HAM, serta penurunan demokrasi. “Salah satu penyebabnya adalah campur tangan berbagai pihak yang kuat untuk membungkam para penegak hukum dengan berbagai cara, mulai dari suap hingga pengesahan ketentuan yang mempengaruhi dan mengancam independensi hakim dan pengacara. Oleh karena itu, penting untuk menjaga integritas hakim demi independensi peradilan,”
Dalam sambutannya, Elizabeth Andersen, Executive Director World Justice Project, mengatakan bahwa alasan penyelenggaraan APAC Justice Forum di Jakarta karena Indonesia memiliki peran penting di Asia Tenggara. “Tahun ini, Indonesia membuat beberapa kemajuan dalam memperkuat supremasi hukum. Tetapi dengan stagnasi dan penurunan supremasi hukum di sebagian besar Asia Pasifik, sangat penting bagi para pemangku kepentingan di seluruh kawasan untuk bersama-sama mengatasi tantangan dan menemukan peluang untuk peningkatan.”
Peserta acara tersebut dihadiri oleh peserta dari berbagai sektor, yakni perwakilan pemerintah, lembaga peradilan, sektor swasta, akademisi, organisasi masyarakat sipil serta jurnalis dari berbagai negara, di antaranya Australia, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, New Zealand, Malaysia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, dan Thailand.
Pelaksanaan APAC Justice Forum ini didukung oleh Pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), KEMITRAAN (Partnership for Governance Reform) dan Kementerian Hukum Singapura. Dukungan tambahan juga diberikan oleh Hong Kong Bar Association, Jupitice, dan LexisNexis Rule of Law Foundation serta anggota Kemitraan Sektor Swasta WJP Arnold & Porter, Hewlett Packard Enterprise (HPE), LexisNexis, Microsoft, Shell, dan Wilson Sonsini.
Acara APAC Justice Forum disiarkan pula langsung melalui kanal Youtube KEMITRAAN dan World Justice Project.
Info lebih lanjut mengenai sesi dan pembicara dalam APAC Justice Forum dapat dilihat melalui tautan ini.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.