SEJUMLAH gubernur, menteri, hingga presiden menghadapi gugatan warga akibat dari buruknya kualitas udara yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Pada sisi lain, negara memiliki janji untuk mencegah dampak perubahan iklim melalui pengurangan produksi karbon. Sedikitnya, ada dua penyebab terjadinya polusi asap, yaitu asap kendaraan dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Untuk mengatasinya, pemerintah merespons dengan mengeluarkan peraturan presiden soal aturan mobil listrik. Presiden juga dengan tegas menginstruksikan jajarannya, termasuk Polri dan TNI, untuk mengatasi karhutla. Jika tidak, siap-siap kapolda, kapolres, dan pangdam kehilangan jabatannya.
Kebijakan berbasis fakta?
Perpres mobil listrik diharapkan dapat mendorong masyarakat berpindah menggunakan mobil ramah lingkungan karena faktor insentif yang ditawarkan serta kesadaran publik terhadap isu lingkungan semakin baik. Pertanyaannya, bagaimana jika kebijakan tersebut tidak mendapat respons luas dari publik?
Pada sisi lain, kebijakan tersebut justru berpotensi meningkatkan produksi asap dari sektor pembangkit listrik, di mana hingga tahun 2030 masih akan menggunakan energi fosil (batu bara dan minyak bumi) untuk memenuhi kebutuhan energi. Faktanya, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hingga tahun 2017 menyebut 57 persen listrik di Indonesia dihasilkan oleh batu bara, selebihnya minyak bumi dan hanya 12,15 persen dari energi baru terbarukan (EBT). Jumlah tersebut sangat tidak sebanding dengan besarnya potensi energi ramah lingkungan yang bersumber dari panas bumi, air, bioenergi, angin, surya, dan laut yang diprediksi mencapai 441,7 Giga Watt. Oleh karenanya, selain mengeluarkan perpres terkait mobil listrik, perlu juga mengeluarkan peraturan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) di sektor pembangkit listrik.
Jika tidak, kebijakan mobil listrik hanya akan memindah persoalan asap dari kota-kota besar ke wilayah dan mengancam masyarakat di sekitar tempat pembangkit listrik dibangun. Kebijakan penggunaan EBT juga mendesak diimplementasikan untuk menghadapi lonjakan kebutuhan listrik karena program koneksi internet antarwilayah di Indonesia, dan peluang beralihnya penggunaan teknologi di sektor industri dari bahan bakar minyak ke listrik.
Persoalan karhutla juga memerlukan pendekatan komprehensif, tidak sekadar penanggulangan dan penegakan hukum yang selama ini terbukti tidak efektif. Indikatornya jelas, karhutla terjadi setiap tahun, pelaku–baik korporasi maupun individu–tidak merasa jera untuk terus membakar. Buktinya, detik ini sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan diselimuti asap dan sudah berstatus siaga, sekitar 60 orang dan 1 korporasi di tetapkan sebagai tersangka karena diduga membakar. Tahun-tahun sebelumnya pun demikian, banyak korporasi terjerat hukum akibat diduga membakar lahan. Selain karena faktor pembakaran, karhutla juga dapat terjadi karena faktor alam.
Jika melihat fakta kebakaran tahun 2015, luas karhutla juga disebabkan oleh faktor musim kemarau dan terdapat fenomena El-nino. Kondisi itu menghanguskan sekitar 122.882,90 hektar hutan dan lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Analisis Bank Dunia memperkirakan kerugian materil yang diakibatkan dari kebakaran tersebut setara Rp 220 triliun. Tidak jauh berbeda dengan 2015, ada fenomena alam yang perlu diwaspadai, yakni Indian Ocean Dipole (IOD) positif atau lebih dinginnya suhu Samudra Hindia di sebelah barat Sumatera telah meningkatkan jumlah titik panas dan risiko karhutla (Kompas, 9/8/2019). Itu masih ditambah puncak musim kemarau yang akan terjadi di bulan September-Oktober. Jika tidak segera diantisipasi, sebagian wilayah Indonesia berpotensi dikuasai asap.
Pendekatan pencegahan
Tanah gambut yang kering akibat musim kemarau merupakan lahan yang rentan terbakar. Selain berfungsi sebagai penyimpan, gambut juga berpotensi mengeluarkan karbon terbesar jika terbakar. Bahkan, saat api sudah padam, gambut tetap dapat melepas karbon ke udara dan memproduksi asap. Berdasarkan pengalaman lembaga Kemitraan bekerjasama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 109 Desa Peduli Gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua, faktor kecerobohan yang sering terjadi adalah terbakarnya lahan gambut karena puntung rokok yang lupa dimatikan sebelum dibuang.
Oleh karenanya, Kemitraan dan BRG merumuskan program pencegahan dengan melibatkan kerjasama semua pihak di level desa untuk meningkatkan pengetahuan seputar gambut dan meminimalkan kecerobohan. Pendampingan di lebih dari 40 desa di Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah berhasil mengubah kebiasaan sebagian petani untuk tidak lagi membuka lahan pertanian dengan cara bakar.
Pada sisi pemerintahan desa, sebagian desa menginisiasi terbentuknya peraturan desa (perdes) perlindungan ekosistem lahan gambut, agar tetap lestari, tidak kering dan mudah terbakar saat musim kemarau. Selain itu juga memperkuat komunitas Masyarakat Peduli Api (MPA) yang salah satu tugasnya adalah memantau dan menanggulangi titik api yang muncul, dengan dukungan anggaran dari dana desa. Di beberapa desa juga ditemukan keterlibatan aktif anggota Babinkamtibmas (polisi desa) dalam memberikan penyuluhan bersama MPA dan pemerintah desa, bersama-sama membangun skema penanggulangan titik api. Alih-alih melakukan tindakan represif, menangkap dan menghukum para pelaku, upaya pencegahan yang dilakukan oleh Babinkamtibmas di level desa dapat menjadi alternatif pendekatan yang dipilih oleh Kapolda maupun Kapolres, sehingga mereka tidak perlu khawatir akan kehilangan jabatannya.
Dibanding tahun 2015, MPA dan warga desa di lokasi kebakaran lebih sigap menangani titik api. Mereka tidak ingin kebakaran tahun 2015 terulang kembali dan menyebabkan dampak yang merugikan, dimana sebagian warga terserang infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), sekolah-sekolah diliburkan, aktivitas perekonomian terhambat, serta hasil panen hangus terbakar. Untuk mengoptimalkan program pencegahan, negara harus hadir secara penuh di semua desa gambut. Salah satu dukungan yang paling dibutuhkan adalah meningkatkan penyadaran tentang pentingnya lahan gambut, serta pembuatan regulasi kebijakan untuk memudahkan penggunaan dana desa bagi kelestarian lahan gambut. Melalui kebijakan penggunaan EBT di sektor energi listrik, serta pelestarian lahan gambut, dua janji negara mungkin dapat terpenuhi, yakni janji menurunkan produksi emisi untuk mencegah perubahan iklim, dan janji untuk menciptakan lingkungan yang baik dan sehat sesuai Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945.
Sudah saatnya warga negara Indonesia merdeka dari asap.
Penulis: Arif Nurdiansah, Peneliti tata kelola pemerintahan di KEMITRAAN-Partnership.Editor : Laksono Hari Wiwoho
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Saatnya Merdeka dari Asap”, https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/17/122839865/saatnya-merdeka-dari-asap?page=all.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.