Sebagai negara yang mengakui hak asasi manusia (HAM), Indonesia berkewajiban memenuhi, menghormati, dan melindungi hak-hak dasar warganya, termasuk untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat, seperti tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28H ayat 1. Alih-alih memastikan, proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi oleh pemerintah justru cenderung merusak hutan dan lingkungan, serta merampas hak asasi warganya.
Parahnya, warga yang berjuang membela hak atas lingkungan hidup acap menjadi korban intimidasi dan kriminalisasi. Padahal, menurut pasal 66, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU PPLH), setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Kriminalisasi terhadap pembela HAM sektor lingkungan marak terjadi di Indonesia. Menurut laporan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), ada sekitar 120 orang pembela HAM sektor lingkungan yang menjadi korban kriminalisasi pada tahun 2020. Salah satunya menimpa enam warga Kelurahan Kenanga, Kecamatan Sungailiat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Menjelang pergantian tahun 2020, mereka ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama satu bulan karena memprotes bau busuk limbah pabrik tapioka yang beroperasi di sekitar permukiman.
Keenam warga tersebut, yang semuanya berstatus sebagai ketua RT, didakwa melakukan pemalsuan dokumen berupa surat undangan sosialisasi rencana untuk menggugat pabrik tapioka ke ranah hukum. Para ketua RT, salah satunya perempuan bernama Heti Rukmana, juga dituduh menyalahgunakan wewenang karena menandatangani surat undangan setelah mengajukan pengunduran diri ke Lurah Kenanga. Padahal saat surat ditandatangani, mereka masih menjabat sebagai ketua RT karena Lurah Kenanga belum memberikan tanggapan atas pengunduran diri yang mereka ajukan.
Kasus kriminalisasi yang menimpa warga Kelurahan Kenanga adalah bentuk gugatan terhadap partisipasi publik atau Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Melalui gugatan itu, pihak yang mendukung aktivitas pabrik tapioka berupaya menakuti atau mengintimidasi masyarakat agar tak mengganggu perusahaan. Upaya itu berhasil, sayangnya.
“Setelah kami mengalami kriminalisasi itu, tidak ada lagi warga yang mau bersuara,” kata Heti Rukmana saat konferensi pers secara daring bertema Kemenangan Masyarakat Pertama melawan SLAPP di Ranah Pidana yang diselenggarakan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) pada Selasa, 6 Juli 2021.
Penjara tak menghentikan perjuangan Heti dan kelima rekannya. Mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bangka Belitung. Setelah melalui proses selama satu tahun lebih, perjuangan mereka membuahkan hasil. Majelis Hakim membebaskan mereka dari segala tuntutan. Pengadilan memberikan kesempatan kepada keenam warga meminta ganti rugi, mendapatkan pemulihan dari negara untuk menghapus stigma dan mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada mereka. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim tak hanya merujuk pada Pasal 66 UU PPLH, tetapi juga mengacu kepada UUD 1945 dan mengutip Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup yang menekankan pentingnya menghentikan perkara SLAPP sedini mungkin. Selain itu, Majelis Hakim menilai, tindakan Heti dan kelima warga lain merupakan bentuk partisipasi masyarakat untuk mendapatkan hak lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Momentum penguatan kebijakan Anti-SLAPP
Keputusan yang dikeluarkan pada 7 Mei 2021 ini merupakan kemenangan pertama masyarakat dalam menghadapi gugatan SLAPP di ranah pidana, dan momentum yang dapat digunakan untuk mengatur kebijakan anti-SLAPP yang lebih baik dan komprehensif.
Menurut Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Raynaldo G. Sembiring, sudah saatnya aparat penegak hukum di Indonesia menggugurkan setiap perkara SLAPP sesegera mungkin, karena bertentangan dengan Konstitusi dan UU PPLH. Dia mengungkap, hal ini dapat dilakukan karena mekanisme penghentian perkara pidana telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pasal 109 ayat 2 untuk penghentian penyidikan dan pasal 140 ayat 2 juncto pasal 14 untuk penghentian penuntutan.
“Terlepas dari kita belum memiliki mekanisme anti-SLAPP yang kuat, KUHAP sudah menyediakan mekanisme penghentian perkara, baik saat penyidikan maupun penuntutan. Jadi, penting bagi penegak hukum untuk mulai meng-exercise upaya penghentian perkara ini, dimulai dari penyidik,” ujar Raynaldo.
Selain itu, para penyidik juga perlu menggunakan momen pembebasan warga Kelurahan Kenanga untuk mewujudkan penegakkan hukum terpadu antara kepolisian, kejaksaan, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seperti mandat UU PPLH pasal 95. Raynaldo menyadari, selama ini pihak kepolisian dan kejaksaan masih cukup “asing” dengan ketentuan anti-SLAPP karena lebih sering muncul di perkara yang berkaitan dengan lingkungan. Katanya, “mekanisme penegakan hukum terpadu ini memungkinkan para instansi terkait saling berkoordinasi sehingga bisa menghentikan perkara SLAPP sedini mungkin.”
Tak cukup sampai di situ, keputusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung dapat pula dimanfaatkan sebagai dasar penyusunan kebijakan hukum. Pada sisi lain, ICEL mendorong negara bertindak untuk melindungi warganya dengan cara segera menyusun peraturan setingkat undang-undang tentang anti-SLAPP.
Pada level kementerian/lembaga, diperlukan aturan pelaksana dari pasal 66 UU PPLH. Secara spesifik, ICEL berharap KLHK dapat membuat regulasi turunan dengan membentuk peraturan Menteri, dan Mahkamah Agung (MA) dapat membuat regulasi sejenis atau memperkuat pedoman yang sudah ada. Sementara itu, kepada aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan juga perlu membuat pedoman teknis yang mengatur penghentian kasus yang berkaitan dengan SLAPP. Dengan begitu harapannya, Indonesia memiliki kebijakan yang lebih jelas dan kuat untuk memberi panduan bagi para penegak hukum agar dapat menghentikan kasus SLAPP sesegera mungkin.
Dukungan KEMITRAAN
Sebagai organisasi yang bekerja untuk mewujudkan tata pemerintahan yang menjunjung prinsip HAM dan kelestarian lingkungan, KEMITRAAN mendukung kerja-kerja pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Maka dari itu, KEMITRAAN bersama ICEL melakukan advokasi pembebasan warga Kelurahan Kenanga dari jeratan SLAPP.
“Kasus yang menimpa enam warga kenanga adalah contoh nyata praktik SLAPP yang jelas bertentangan dengan demokrasi dan hak publik untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,” pungkas Ririn Sefsani, Team Leader Program Perlindungan Pembela HAM untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia di KEMITRAAN.
Direktur ICEL Raynaldo G. Sembiring mengapresiasi dukungan KEMITRAAN. Dia berharap, KEMITRAAN dapat terus mendukung pendampingan hukum korban SLAPP agar putusan-putusan Anti-SLAPP yang baik semakin banyak. Selain itu, dia menambahkan, “KEMITRAAN juga perlu ikut mengadvokasikan perubahan hukum acaranya, khususnya KUHAP untuk mencegah SLAPP sedini mungkin.”
Berkaca pada banyaknya pembela HAM, termasuk pejuang lingkungan yang menjadi korban pembungkaman, KEMITRAAN berupaya mewujudkan kebijakan anti-SLAPP yang lebih baik. KEMITRAAN dan ICEL juga mendorong agar Rancangan Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup tentang Anti-SLAPP (Rapermen Anti-SLAPP) dapat segera disahkan. Inisiatif ini tentunya akan memperkuat mekanisme Anti-SLAPP dalam perkara-perkara lingkungan hidup dan kehutanan.
Ririn berharap, kerja sama antara KEMITRAAN dan ICEL dapat mewujudkan penegakan hukum yang lebih adil. “Semoga nantinya, kehadiran Permen Anti-SLAPP dapat menjadi preseden baik penguatan regulasi perlindungan pembela HAM di Indonesia,” pungkasnya.
KEMITRAAN percaya, tugas untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan HAM adalah kewajiban negara. Oleh karenanya, selain mengadvokasi kebijakan Anti-SLAPP, KEMITRAAN juga menjalin kerja sama dengan sejumlah pihak untuk mendorong pemerintah mewujudkan mekanisme perlindungan berbasis negara bagi pembela HAM yang komprehensif.
Selain ICEL, melalui program Perlindungan Pembela HAM untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, KEMITRAAN juga bekerja sama dengan IMPARSIAL untuk mendorong revisi Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM dan memasukkan elemen perlindungan pembela HAM ke dalamnya. Sementara itu, bersama ELSAM dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), KEMITRAAN mendukung perbaikan atas Peraturan Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Terhadap Pembela HAM. Kerja-kerja yang IMPARSIAl dan ELSAM lakukan bersama KEMITRAAN melengkapi upaya advokasi kebijakan ini dengan data kasus yang menimpa pembela HAM di tengah minimnya perlindungan Negara.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.