Beranda / Publication

Perampasan Aset Kunci Penguatan Gerakan Anti Korupsi

Dok. Kemitraan

Jakarta, 8 Maret 2022. Sebagai presidensi G20, Indonesia memiliki momentum pembenahan gerakan anti korupsi tidak hanya di internal negaranya, melainkan juga negara-negara peserta yang dapat berpengaruh pada ekonomi dunia.

“Ada 47 persen dari anggota G20, skor persepsi indeksnya di bawah 50. Ini jadi tantangan sendiri bagi forum global G20, yang pengaruh ekonominya sangat luas bagi dunia,” ujar Dadang Trisasongko selaku Chair Anti-Corruption Working Group (ACWG) dalam sambutannya pada webinar side event C20 yang diselenggarakan oleh KEMITRAAN bertema RUU Perampasan Aset Sebagai Perwujudan Prinsip Utama G20 Tentang Pengembalian Aset.

Dadang mengambil contoh Indonesia untuk menggambarkan tantangan negara G20 dalam melawan korupsi. Pertumbuhan indeks persepsi korupsi Indonesia menurutnya terhambat oleh dua faktor, salah satunya korupsi politik yang di dalamnya ada isu terkait pengadaan, perizinan dan lain lain yang kesemuanya bermuara pada isu perampasan aset (asset recovery).

“Perampasan aset di Indonesia telah didiskusikan kira-kira 15 tahun lalu, tapi sejauh ini perkembangan legislasinya sangat lambat,” terangnya.

Kondisi ini membuat upaya pemberantasan korupsi di negeri ini terhambat. Koruptor tidak memiliki efek jera, karena kekayaan hasil korupsinya tidak dapat diambil paksa oleh negara. Laode M Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN menegaskan dalam paparannya bahwa pekerjaan rumah kita tentang perampasan aset masih sangat banyak, baik untuk Indonesia maupun untuk anggota G20 yang lain. Karena di antara semua upaya pemberantasan korupsi, perampasan aset ini yang paling menyedihkan dan banyak sekali mengalami kegagalan.

“Perampasan aset, terlebih yang ada di luar negeri menjadi semakin sulit walaupun dilakukan lewat kerja sama antar organisasi lintas negara. Tantangan untuk perampasan aset, landasan hukumnya di tingkat nasional dan internasional masih sangat sedikit, ditambah terbentur persoalan ekstradisi,” ungkapnya.

Kondisi ini masih diperparah dengan fakta institusi nasional untuk urusan pengembalian aset di masing-masing negara G20 sangat tidak efektif berjalan, dan kerja sama antar lembaganya jelek.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan bersama oleh negara G20 adalah menyusun kerangka hukum yang baru, untuk mempercepat penanganan kasus korupsi terutama di sisi perampasan aset kejahatannya.

Senada dengan hal tersebut, Francesco Checchi dari UNODC menyebut kesulitan teknis saat melakukan perampasan aset lintas negara.

“Persyaratan hukum cukup rumit, teknisnya soal bahasa dan kesesuaian waktu. Dalam banyak kasus lebih dari enam hingga delapan bulan bagi sebuah negara serta transfer dokumen dan identifikasi tersangka.”

Untuk mengatasinya, Checchi mengusulkan tidak hanya penguatan kerja sama formal untuk mempermudah dalam memahami legislasi di masing-masing negara, melainkan juga informal.

“Kami berupaya melakukan pembentukan jejaring di antara penyidik, untuk berkomunikasi secara informal sebelum mereka masuk dalam permohonan,” urainya.

Pada kesempatan yang sama, Perwakilan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ferti Srikandi Sumanthi, meminta dukungan dari organisasi non pemerintah dan KEMITRAAN untuk mendorong parlemen agar memprioritaskan pengesahan RUU Perampasan Aset di tahun ini, atau paling tidak tahun depan.

“Sepanjang UU Perampasan aset tidak ada, maka tidak ada asset recovery bisa dilakukan. Karena belum adanya kebijakan untuk melakukan pelacakan, penyelamatan dan perampasan aset,” jelasnya.

Regulasi tersebut menurut Ferti semakin penting dari sisi untuk penguatan pemberantasan korupsi, mengingat berdasarkan hasil indeks risiko tindak pidana pencucian uang (TPPU) tahun 2021, korupsi merupakan tindak pidana asal dengan tingkat risiko paling tinggi untuk terjadinya pencucian uang.

Menutup diskusi, Dadang menegaskan saat ini merupakan momentum paling tepat bagi Indonesia untuk menunjukan sebagai presidensi G20, salah satunya dengan mempercepat proses legislasi UU Perampasan Aset.

“Kita punya kesempatan 6 bulan untuk mengajak publik dan aktor kunci terkait urusan legislasi untuk meninggalkan legacy yang sangat penting dalam upaya memberantas kejahatan yang sangat masif (korupsi),” tutup Dadang.

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.