Berdasar fakta lapangan, Monica Tanuhandaru, Direktur Eksekutif Kemitraan Partnership, menyimpulkan bahwa peran dan fungsi desa, serta komunitas lokal terbukti sangat penting dalam menghadapi perubahan iklim global. Monica menyebut pengalaman di desa-desa yang termasuk dalam Program Desa Peduli Gambut yang turut ditangani Kemitraan sebagai bukti. Program Desa Peduli Gambut memang didesain untuk memperkuat peran dan fungsi desa, serta komunitas lokal dalam menghadapi perubahan iklim melalui pemulihan lahan gambut berbasis komunitas, termasuk secara langsung mencegah kebakaran hutan dan lahan. Dan terbukti masyarakat memiliki pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola lahan gambut sebagai sumber mata pencaharian mereka.
Monica Tanuhandaru mempresentasikan proses pembelajaran dari pendampingan 109 Desa Peduli Gambut Kemitraan itu pada sesi talkshow bertajuk Village-based Initiative in Managing Natural Resources Towards Achieving SDGs, yang diselenggarakan Kemitraan dalam rangka Konferensi Iklim Dunia COP24 di Katowice, Polandia. Talkshow berlangsung Kamis, 6 Desember 2018, pukul 13.00-14.20 waktu setempat di Pavilion Indonesia COP24.
Talkshow itu dimoderatori oleh Bapak Wahyudi Wardoyo dan menampilkan empat pembicara: Selain Monica, juga hadir Dr. Myrna A. Safitri (Deputi Bidang Pendidikan, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG RI), Putri Rahayu (Fasilitator DPG), dan Denni Nurdwiansyah (SAMPAN Kalimantan).
Kepada hadirin, Monica juga memaparkan lima pilar dalam pelaksanaan program DPG, yaitu (1) perencanaan dan regulasi desa partisipatif; (2) pengembangan ekonomi pedesaan; (3) revitalisasi budaya; (4) rekonstruksi dan konservasi gambut; serta (5) kepastian tenurial. Dengan kelima pilar tersebut, DPG memperkuat peran dan fungsi desa dan komunitas lokal dalam menghadapi perubahan iklim. Menurut Monica, desa dan komunitas memainkan peran sangat penting dalam memulihkan gambut. Masyarakat memiliki pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola lahan gambut sebagai sumber mata pencaharian mereka. Selain itu, perencanaan pembangunan desa yang peduli terhadap lingkungan memungkinkan keberlanjutan program restorasi gambut. Terakhir, kepastian akses dan peningkatan hak tenurial bagi masyarakat akan meningkatkan kepemilikan dan modalitas yang lebih kuat untuk restorasi lahan gambut.
Tak hanya mencatat pembelajaran baik dalam restorasi gambut berbasis desa dan komunitas, Monica juga menyebut tantangan yang dihadapi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Diantaranya, kurangnya pengetahuan tentang restorasi dan keadaan lahan gambut di desa menghambat aksi masyarakat; kurangnya dukungan regulasi & tindakan afirmatif di tingkat kabupaten dalam menerjemahkan penerapan kebijakan dana desa untuk restorasi gambut; proses perencanaan pembangunan desa yang masih berpusat pada elit; kurang dalam partisipasi masyarakat & agenda lingkungan; dan keterbatasan inovasi & teknologi pada teknologi dalam menangani pengelolaan lahan gambut berkelanjutan tanpa praktik pembakaran; serta kurangnya akses hukum dan hak untuk masyarakat dalam mengelola lahan gambut dan kepastian dalam hak tenurial masyarakat.
Menutup presentasinya, Monica meyakinkan pentingnya pengembangan teknologi dan inovasi yang adaptif. Kemitraan misalnya mengembangkan penggunaan drone dalam pemetaan partisipatif agar mampu membangun kesadaran ruang bagi warga, serta pengembangan aplikasi Mitra Gambut 2.0 berbasis Android yang menjadi sarana berbagi pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan antar warga desa mengenai kondisi desa mereka.
Sebelum Monica tampil, Dr. Myrna Safitri dari BRG sudah menyoroti praktik baik dan pembelajaran dari Program Desa Gambut (DPG) sebagai kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis masyarakat. Menurut Myrna, inti dari program DPG adalah pemberdayaan masyarakat, termasuk adaptasi petani dalam praktik pertanian mereka melalui sekolah lapang, dimana para petani dapat belajar pertanian alami ramah-lahan dengan metode pembukaan lahan tanpa pembakaran. Lebih lanjut, Myrna menjelaskan bahwa DPG juga memperkuat pencapaian Sustainable Development Goal (SDG) dalam lanskap sosio-ekonomi lahan gambut, diantaranya dalam pengurangan kemiskinan melalui pengembangan ekonomi desa berbasis lahan gambut dan ketahanan pangan untuk menghindari kelaparan melalui pertanian ramah lahan gambut.
Selain itu, Myrna menyebut, melalui DPG kegiatan yang terkait dengan restorasi lahan gambut telah diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes), serta merancang Peraturan Desa tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Dampak nyata dari keberadaan program ini diantaranya sepanjang 2017-2018, 259 desa yang difasilitasi BRG mampu menurunkan secara signifikan (84,5%) kebakaran hutan dan lahan.
Pembicara berikutnya adalah Putri Rahayu, fasilitator desa untuk program Desa Peduli Gambut. Putri berkisah tentang pengalamannya dalam melakukan pendampingan desa dan masyarakat untuk pemulihan lahan gambut. Putri bertugas di Desa Pulu Beruang di Kecamatan Tulung Selapan, Kab. Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sedikitnya ada 10 kegiatan utama yang dilakukan oleh fasilitator desa dalam melakukan pendampingan. Satu diantaranya mengintegrasikan pemulihan gambut ke dalam perencanaan pembangunan desa.
Kegiatan itu akan diawali dengan pemetaan partisipatif yang berupaya menghimpun data spasial mengenai tata guna lahan, batas dan penguasaan ruang desa, serta data sosial ekonomi mengenai sejarah, kondisi kelembagaan, potensi ekonomi dan komoditas, hingga potensi konflik di desa. Di 12 desa lokasi DPG di Sumatera Selatan, termasuk desa tempat Putri melakukan pendampingan, terdapat irisan lahan gambut dengan lahan wilayah konsesi untuk perkebunan. Ini jelas memperlihatkan adanya tumpang tindih kepentingan terhadap lahan, yang jika tak dikelola berpotensi melahirkan konflik.
Pemetaan juga menyebabkan tergalinya data beraneka sumber komoditas berbasis lahan gambut, seperti padi, tambak udang, kerajinan tangan hingga pengolahan makanan (terasi). Hasil-hasil pemetaan tersebut lalu dijadikan dokumen profil desa dan peta indikatif desa yang menjadi bahan acuan untuk melangkah ke proses perencanaan desa.
Dalam proses perencanaan desa, kegiatan diawali dengan melakukan Review RPJMDesa, yang secara substansi belum memasukkan isu lingkungan, khususnya gambut. Selain itu proses penyusunan RPJMDeas biasanya tidak dilakukan secara partisipatif. Untuk itu, fasdes harus melakukan pendampingan agar proses perencanaan desa bisa dilakukan dengan proses partisipatif yang mengajak semua, baik kaum lelaki maupun perempuan.
Proses ini jelas tidak mudah karena selama ini tidak pernah dilakukan, sehingga masyarakat awalnya sangat tidak peduli terhadap proses tersebut. Selain itu, sebagian besar masyarakat juga bekerja sehari-hari di kebun, sehingga kegiatan baru dapat dilaksanakan pada malam hari. Kendati demikian, Putri menuturkan bahwa proses ini telah memberi hasil dengan terbitnya peraturan desa mengenai RPJMDes dan RKPDes.
Paparan terakhir setelah Putri disampaikan oleh Denni Nurdwiansyah tentang inisiatif desa dalam mengelola sumberdaya alam untuk pencapaian SDGs. Paparan ini berangkat dari pengalaman SAMPAN Kalimantan, sebuah LSM berbasis di Kalimantan Barat, dalam mempromosikan desa yang mengelola 174.150 hektar hutan negara melalui skema Hutan Desa di Bentang Pesisir Padang Tikar, Kab. Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Dalam menjalankan kegiatannya, strategi SAMPAN diawali dengan menentukan area perlindungan dan produksi dalam skala bentang alam (landscape), mempertimbangkan aspek status dan fungsi hutan, sistem hidrologi gambut, batas batas administratif, serta sosial dan budaya. Lalu berlanjut dengan melibatkan para pihak, komunitas, sektor swasta dan pemerintah, untuk bersama-sama merencanakan dan mengelola lanskap. Serta kemudian merancang strategi penggunaan lahan gambut dengan fokus untuk mengoptimalkan produk yang ada di lahan gambut (seperti kelapa, kopi, dan lainnya), melakukan diversifikasi produk, penerapan sistem perlindungan di area gambut berhutan dan fokus pada pembangkitan ekonomi desa di lahan non-gambut yang memiliki dampak ekologi minimum.
Kegiatan yang diinisiasi SAMPAN Kalimantan ini menggunakan pendekatan perlindungan, produksi dan inklusi berbasis bentang alam, dengan pertimbangan: pembangunan desa yang terintegrasi, dimana semua sektor (kehutanan, pertanian, perkebunan) yang dikembangkan secara proporsional akan menciptakan efek multilayer untuk pembangunan sosial dan ekonomi. Juga memberi efek pada perlindungan hutan dan lahan gambut dalam satu kesatuan bentang alam dimana semua pihak bertanggung jawab untuk menjaganya. Kemudian akan lahir pula konsolidasi dan produksi bisnis yang efektif, dimana komoditas ekonomi ditopang beberapa desa.
Untuk menjamin kelangsungan produksinya, dilakukan pembiayaan mandiri untuk pengembangan bisnis melalui lembaga keuangan Credit Union (CU). CU akan memainkan peran sebagai bisnis manajer, membantu setiap komunitas dalam mengelola investasi dan menjadi lembaga penjamin dalam transaksi investasi; kolaborasi antar manajemen. Penjelasan dan presentasi Denni menjadi bukti lain, betapa pengelolaan Iklim memang bisa dikerjakan dari desa dan komunitas.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.