Ogan Komering Ilir, 7 Desember 2021 – Tahun 2015 terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang merusak lahan dan kawasan gambut mencapai 2,6 juta hektar di seluruh Indonesia. Kejadian ini berulang di tahun 2019 dan menghanguskan kurang lebih 1,6 juta hektar. Peristiwa Karhutla kerap menimbulkan kerugian signifikan baik dari aspek ekonomi maupun sosial, kesehatan dan lingkungan secara global. Kebakaran pada lahan gambut sangat sulit dipadamkan, dan umumnya menghasilkan asap relatif banyak dibandingkan kebakaran di lahan mineral.
Salah satu daerah yang rawan mengalami kebakaran adalah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, yang sebagian wilayahnya merupakan lahan gambut. Tahun 2017, Bupati OKI menerbitkan Surat Keputusan (SK) nomor 117/KEP/BPBDOKI/2017 tentang 63 desa rawan karhutla yang tersebar di 15 Kecamatan. Selain warga, umumnya desa-desa rawan Karhutla dikelilingi oleh wilayah perkebunan yang dikelola oleh perusahaan kehutanan, maupun perusahaan perkebunan sawit. Untuk itu dibutuhkan kolaborasi multipihak untuk mencegah Karhutla dengan melibatkan pemerintah, swasta pemegang izin, akademisi dan organisasi masyarakat sipil.
Upaya pelibatan multipihak telah diinisiasi oleh pemerintah nasional tahun 2018 dengan pendekatan berbasis kawasan atau disebut klaster.
“Saat itu ada Kemenko Perekonomian, KLHK dan BNPB bekerjasama dengan Afrika Selatan untuk merenapkan sistem klaster di Indonesia, dan telah terbukti mampu mencegah Karhutla di sana,” sebut Hasbi Berliani, Program Director untuk Sustainable Governance Community KEMITRAAN di hadapan peserta Lokakarya Hasil Studi Pencegahan Karhutla di Kabupaten OKI.
Program yang saat ini dijalankan oleh KEMITRAAN, dengan dukungan dari USAID dan UNEP menurut Hasbi merupakan tindak lanjut dari upaya replikasi pendekatan klaster di Afrika Selatan. Selain pada tataran teknis koordinasi, Hasbi menyebut saat ini terdapat penguatan pada tiga sisi utama, “Yaitu pelembagaan (dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga nasional), regulasi sebagai payung hukum, hingga identifikasi terhadap sumber pendanaan.”
Dengan hasil studi yang disusun berdasarkan pembelajaran di tiga wilayah pilot program, melalui Program Strengthening Indonesian Capacity for Anticipatory Peat Fire Management (SIAP-IFM) di OKI, Pelalawan di Provinsi Riau, serta Pulang Pisau di Provinsi Kalimantan Tengah, upaya pencegahan berbasis klaster semakin menemukan bentuk yang sesuai dengan konteks Indonesia.
“Harapannya, pendekatan klaster ini ke depan menjadi solusi permanen untuk mencegah Karhutla di Indonesia, seperti yang Presiden Jokowi mandatkan,” harap Hasbi.
Sementara itu dalam sambutannya, Bupati OKI, H. Iskandar menyampaikan bahwa Pemda OKI memiliki komitmen kuat dalam rangka memperbaiki isu-isu lingkungan hidup yang ada. “Membentuk kelembagaan klaster pencegahan karhutla sejak tahun 2018-2021, dengan susunan kepengurusan kelembagaan klaster pencegahan karhutla ditandatangani oleh bupati,” sebutnya.
Beliau menambahkan, saat ini sedang dirumuskan pembaharuan struktur klaster pencegahan karhutla periode 2021-2024 dan akan terus diperbaiki untuk mencapai model klaster pencegahan karhutla yang ideal dan sesuai dengan kearifan lokal di Kabupaten OKI. Selain melakukan penyusunan kerangka organisasi kepengurusan klaster yang saat ini dalam proses konsultasi, KEMITRAAN dan Pemda OKI melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bersama para pihak di luar pemerintah akan melakukan beberapa kegiatan untuk mewujudkan Kabupaten OKI mandiri dalam pencegahan karhutla.
“Akan dilakukan pelatihan perencanaan dan anggaran berbasis Karhutla, serta berbagi pengalaman dari upaya pencegahan karhutla dari Tim Kishugu Afrika Selatan kepada Masyarakat Peduli Api (MPA) sehingga bisa diterapkan di Indonesia yang disesuaikan dengan kondisi lokal dimasing-masing daerah,” jelas Kepala Pelaksana BPBD OKI, Listiadi Martin.
Kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan dari Organisasi Perangkat Daerah di OKI, perwakilan organisasi samping seperti TNI dan Polri, masyarakat sipil dan perusahaan yang memiliki izin konsesi. Hadir pula perwakilan dari Kemenko Maritim dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Trevor Wilson, perwakilan Kishugu, lembaga dari Afrika Selatan yang terlibat dalam program ini, menyebut pihaknya sangat bersemangat menjadi bagian dari inisiatif pembentukan klaster pencegahan karhutla di Indonesia. “Tujuan utamanya (klaster) adalah mitigasi risiko karhutla melalui pencegahan dan koordinasi pemadaman kebakaran yang tidak diinginkan dengan cepat,” jelasnya.
Sementara itu, Johan Kieft dari UNEP mengapresiasi apa yang telah dihasilkan oleh Pemkab OKI dalam upayanya mencegah karhutla. Menurutnya upaya di tiga wilayah pilot sejalan dengan upaya KLHK dalam mencegah karhutla di Indonesia.
Harlan Hale, perwakilan dari USAID yang hadir pada lokakarya menyebut pihaknya merasa senang dapat berkontribusi terhadap upaya pencegahan Karhutla di daerah rawan kebakaran di Indonesia, termasuk Sumatera Selatan.
“Pendekatan klaster memungkinkan semua pihak yang memanfaatkan lahan untuk bersama-sama mencegah Karhutla. Sehingga mengurangi asap kebakaran yang dapat mengganggu kesehatan dan ekonomi Indonesia,” terangnya.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.