(Oleh: Amir Faisal) Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) memiliki luas wilayah 19.023,47 km2 atau 21,86 persen dari luas Provinsi Sumatera Selatan. Secara geografis terletak pada posisi 1040, 20’ sampai 1060,00’ Bujur Timur dan 20,30’ sampai 40,15’ Lintang Selatan, dengan ketinggian rata-rata 10 meter di atas permukaan laut (RPJMD, 2019). Sebagian besar wilayah Kabupaten OKI berada di kawasan rawa dan bergambut, Akses menuju lokasi antar desa menggunakan sarana transportasi air berupa speed boat dan perahu. Bahkan untuk menuju salah satu wilayah kabupaten, yakni sebagian desa-desa di Kecamatan Air Sugihan, harus menggunakan speed boat dari Kota Palembang, ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Dengan kondisi tanah rawa dan bergambut, perjalanan menuju desa-desa di Kabupaten OKI akan banyak jalan yang berlumpur saat musim hujan dan berdebu kala kemarau.
Jika kita menelusuri kawasan pesisir timur Kabupaten OKI, akan ditemukan bentang gambut luas yang dikelilingi oleh perkebunan hutan tanaman industri, seperti tanaman akasia dan sengon, serta perkebunan sawit. Lahan gambut telah beralih fungsi, awalnya berfungsi sebagai sumber penyerap karbon dan sumber air baku lahan perkebunan. Saat ini banyak dibangun sekat kanal yang membuat air dengan mudah mengalir ke sungai-sungai dan membuat kawasan gambut cepat kering saat musim kemarau tiba. Tidak hanya gambut, semakin timur menuju desa-desa yang berada di pinggiran selat Bangka, terlihat tanaman mangrove yang mulai terkikis oleh usaha-usaha tambak milik masyarakat.
Berkurangnya luasan lahan gambut dan mangrove di pesisir timur Kabupaten OKI semakin diperparah dengan kebiasaan cara bertani masyarakat yang membuka lahan dengan pola bakar. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Sonor. Sonor adalah pola bertani masyarakat di Kabupaten OKI dengan membuka lahan untuk sawah dan kebun dengan membakar. Pola bertani dengan sonor ini sudah lama dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir timur Kabupaten Ogan Komering Ilir. Ketika budaya gotong royong masih melekat dalam kehidupan masyarakat, sonor masih dapat dikendalikan oleh masyarakat dengan diketahui oleh pemerintah desa setempat. Masyarakat membuka lahan secara bersama-sama dan titik lahan yang akan dibakar diawasi secara bersama-sama pula oleh warga. Namun, saat ini kekerabatan dan jiwa gotong royong semakin terkikis dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, pola bertani sonor tetap dilakukan oleh warga secara sendiri-sendiri. Hal ini berakibat pada kobaran api yang tidak terkendali.
Pemanfaatan lahan-lahan gambut dan mangrove tidak hanya oleh masyarakat yang melakukan pertanian secara tradisional, tetapi juga semakin meningkatnya penggunaan lahan oleh perusahaan-perusahaan hutan produksi dan perusahaan perikanan di area mangrove walaupun izin penggunaan lahan sudah diterbitkan secara resmi oleh pemerintah daerah Kab. OKI. Peta definitif masing-masing desa belum terverifikasi dengan baik, sehingga perluasan lahan oleh perusahaan terus meningkat dan potensi konflik seperti api dalam sekam yang setiap saat dapat terjadi antara perusahaan dengan masyarakat. Ketika status lahan dalam kondisi sengketa, hal ini juga dapat memicu potensi kebakaran lahan makin meningkat karena dilahan ini biasanya areal ini hanya ditumbuhi semak, belukar dan pohon-pohon khas gambut dan mangrove. Perusahaan dan masyarakat sama-sama tidak bertanggung jawab atas bencana kebakaran di lahan yang tidak jelas statusnya.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, melalui Perda nomor 8 tahun 2016 tentang pengendalian kebakaran hutan dan atau/lahan menetapkan setiap orang atau perusahaan berbadan hukum dilarang membakar untuk membuka lahan, terkecuali kondisi yang tidak terelakkan untuk pengendalian hama, pengendalian kebakaran dan perlindungan satwa dan habitat tumbuhan. Namun kondisi-kondisi khusus ini tetap harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Terbitnya perda ini tidak lepas dari kejadian kebakaran hutan, kebun dan lahan besar pada tahun 2015, pada saat 377 ha lahan di kabupaten OKI terbakar dan berasap.
Dengan terbitnya Perda ini, semua pihak harus menghentikan aktivitas pembakaran lahan baik oleh masyarakat maupun perusahaan. Pola bertani sonor yang selama ini menjadi kebiasaan masyarakat di pesisir timur Kabupaten OKI juga terdampak, dan dianggap semakin mempersulit kehidupan masyarakat yang sebagian besar bertani dengan sonor. Masyarakat mulai mengubah cara bertani sonor dengan membuka lahan-lahan secara gotong royong untuk bertambak ikan. Kegiatan ini pun menimbulkan masalah baru dengan terkikisnya luasan kawasan mangrove.
Insiden Kebakaran Hutan, Lahan dan Kebun (Karhutlabun) yang rutin terjadi setiap tahun telah mengganggu alokasi anggaran daerah yang awalnya diprioritaskan untuk pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan. Data karhutlabun menunjukan adanya peningkatan signifikan, dari 180.000 ha tahun 2017 menjadi 829.000 ha pada tahun 2019. Peningkatan ini berdampak pada pengeluaran anggaran Kabupaten hingga mencapai Rp. 105 milyar rupiah (KRB BPBD, 2019). Tingginya biaya penanggulangan karhutla membutuhkan strategi baru dalam penanganannya, salah satunya dengan mengubah pendekatan, dari penanggulangan menjadi pencegahan dengan melibatkan semua pihak.
Semakin meningkatnya angka kemiskinan, kondisi sosial yang makin meresahkan dan luasnya tingkat kerusakan lingkungan di kawasan pesisir timur Kabupaten OKI menjadi perhatian Pemerintah. Untuk menyelesaikannya, Bupati OKI, H. Iskandar, SE mencanangkan visi pembangunan dari desa di Kabupaten OKI. “Pembangunan dari desa harus dilanjutkan untuk menuju kemandirian yang berkesinambungan di Kabupaten OKI,” demikian disampaikan oleh Bupati Iskandar di awal periode pemerintahannya tahun 2019.
Visi tersebut salah satunya diejawantahkan dengan cara memperbaiki tata kelola penanganan Karhutlabun, dengan terbitnya SK Bupati Kabupaten OKI Nomor 346 tahun 2019 tentang Kepengurusan Klaster tim pencegahan Karhutla di kabupaten OKI. Namun demikian keluarnya SK tidak serta merta memperbaiki persoalan penanganan kebakaran, faktor penyebabnya karena kepengurusan yang dibentuk belum menunjukkan skema bersama, sehingga tidak dapat dijalankan secara terpadu dan kolaboratif.
Untuk memperbaiki tata kelola penanganan Karhutla berbasis klaster di wilayahnya, Pemerintah OKI bekerjasama dengan KEMITRAAN dan Kishugu, melalui bantuan dana dari UNEP. Salah satu persoalan mendasar untuk perbaikan adalah memperbaiki dan merevisi SK bupati OKI 346/2019 ini agar menjadi lebih efisien, terstruktur, dan kolaboratif melibatkan Pemerintah, Perusahaan HTI dan Perkebunan sawit, CSO, akademisi dan para pihak yang aktif dalam penanganan karhutla.
Beberapa kegiatan lain yang akan dilakukan oleh KEMITRAAN adalah memperkuat dan membangun platform kelembagaan klaster/sub klaster yang didukung regulasi dari pemerintah setempat, memperkuat perencanaan dan kapasitas manajemen penanganan kebakaran, serta membangun kolaborasi pembiayaan para pihak secara mandiri dalam penanganan karhutla berbasis klaster. Selain OKI, program pencegahan Karhutla berbasis klaster atau Strengthening Indonesian Capacity for Anticipatory Peat Fire Management (SIAP-IFM) juga dilaksanakan di Kabupaten Pelalawan (Riau) dan Pulang Pisau (Kalimantan Tengah).
Upaya membangun kolaborasi penanganan Karhutlabun berbasis klaster telah memberikan semangat baru bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Manggala Agni di Kabupaten OKI. “Mari kita bangun klaster pencegahan Karhutlabun dengan kolaborasi menuju OKI bebas asap.” Demikian disampaikan oleh kepala BPBD Kabupaten OKI, Listiadi Martin saat ditemui di kantornya.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.