Dari kiri ke kanan: Rabby Pramudatama (Programme Coordinator UNODC Indonesia), Collie F Brown (Country Manager UNODC), Pujo Harinto (Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM ), Irhamsah (Analis Eksekutif Deputi Direktur Kebijakan Penyidikan OJK), Laode M. Syarif (Direktur Eksekutif KEMITRAAN), Pitra A. Ratulangi (Analis Kebijakan Madya Bidang Pidana Umum Bareskrim Polri Komisaris Besar Polisi), YM. H. Suharto (Hakim Agung pada Kamar Pidana, Mahkamah Agung).
Jakarta, 6 Juli 2022 – Keadilan restoratif merupakan salah satu bentuk penegakan hukum menuju peradilan yang humanis. Oleh karena itu, penerapan pendekatan Keadilan Restoratif dalam sistem peradilan pidana menjadi salah satu strategi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Dikutip dari polkam.go.id, Mahfud MD menyampaikan bahwa hukum dalam konsep keadilan restoratif bukan untuk menang atau menghukum orang, tapi membangun harmoni. Di Indonesia sendiri, prinsip keadilan restoratif mulai banyak digunakan. Berdasarkan data yang dihimpun Polri, penyidik di berbagai daerah mulai rutin menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Sejak surat edaran Kapolri nomor SE/2/II/2021 tanggal 19 Februari 2021 terbit, setidaknya ada 1.864 perkara hingga bulan Juli 2022 yang diselesaikan tanpa harus sampai ke meja hijau.
Untuk mendukung upaya pemerintah Indonesia mengimplementasikan keadilan restoratif, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) bekerja sama dengan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan atau KEMITRAAN , menyelenggarakan seminar hybrid berjudul Kontekstualisasi Implementasi Keadilan Restoratif di Indonesia pada tanggal 6 Juli 2022. Dalam seminar ini terdapat tiga sesi panel diskusi yang membahas mengenai status penerapan keadilan restoratif saat ini dan menyoroti perspektif dari pemangku kepentingan peradilan pidana, masyarakat sipil, pembuat kebijakan, dan pakar internasional.
Collie F. Brown selaku Country Manager UNODC dalam pidato pembukanya menyebutkan bahwa sesungguhnya keadilan restoratif sudah ada sejak berabad-abad lalu dan menjadi model dominan peradilan pidana dalam sejarah panjang manusia. Seperti yang dipraktekkan oleh Native American, bangsa Asia, Polinesia, Afrika, umat Buddha dan lain-lainnya. “Keadilan Restoratif menyediakan pilihan untuk transformasi sosial yang positif, dengan melengkapi masyarakat upaya yang lebih efektif dan damai untuk menyelesaikan konflik. UNODC mengapresiasi langkah Indonesia mengimplementasikan keadilan restoratif di Indonesia. Kami berharap penerapan keadilan restoratif di Indonesia akan memiliki payung hukum yang menjadi standar sekaligus pertimbangan atas keunikan komunitas,” ungkap Collie F. Brown.
Pentingnya standar akan implementasi keadilan restoratif di Indonesia juga disebutkan oleh Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN. “Keadilan restoratif sebetulnya sudah menjadi bagian praktik budaya Indonesia kemudian sekarang jadi prioritas pemerintah. Namun implementasinya belum ada kesamaan persepsi, baik dari sisi masyarakat maupun aparat penegakan hukum. Apabila tidak ada kesamaan standarisasi keadilan restoratif, maka akan menimbulkan kesenjangan. Oleh karena itu kita perlu bersama-sama membicarakan standarisasi tersebut.”
Di sesi pertama, tema yang dibahas adalah mengenai implementasi praktis dari keadilan restoratif. Analis Kebijakan Madya Bidang Pidana Umum Bareskrim Polri Komisaris Besar (Kombes) Polisi Pitra A. Ratulangi menyatakan bahwa penanganan keadilan restoratif memiliki banyak sisi positif secara teknis maupun anggaran. “Keadilan restoratif tidak memerlukan tahapan penyelesaian perkara yang cukup memakan waktu mulai dari penyelidikan, penuntutan hingga pengadilan. Selain itu, keadilan restoratif juga dapat mengatasi over crowded di penjara. Di mana 15.000 di pelaku tindak pidana di tahun 2021 bisa diselesaikan dengan keadilan restoratif. Namun perlu dibuat database keadilan restoratif agar dapat mencatat pelaku tindak pidana melakukan pelanggaran berulang,” ujar Krishna.
YM Suharto, selaku Hakim Agung pada Kamar Pidana, Mahkamah Agung, mengingatkan bahwa penerapan keadilan restoratif memerlukan kehati-hatian. “Menciptakan ketertiban umum dan masyarakat perlu keterlibatan negara yang dalam hal ini adalah pengadilan. Konsep keadilan restoratif ini sudah diakomodir tersebar di berbagai instansi, namun belum ada satu regulasi yang khusus membahas tema tersebut. Keadilan restoratif perlu diperjelas regulasinya agar tidak menimbulkan ketimpangan sosial, di mana setiap orang harus dipandang sama di depan hukum. Penanganan keadilan restoratif harus dipastikan tidak melanggar hukum yang berlaku, dengan merujuk pada Integrated Criminal Justice System, ungkap Suharto.
Fadil Zumhana, selaku Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, memandang keadilan restoratif dari segi kualitas, bukan dari kuantitas. “Bagaimana suatu perkara berdampak bagi masyarakat jika dilimpahkan atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Kejaksaan sejatinya tidak mempunyai hak untuk menuntut tanpa desakan dari masyarakat, karena pelanggaran ringan sudah jarang dipersoalkan di masyarakat.”
Sugeng Purnomo, Deputi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kemenko Polhukam, memiliki dua saran terkait penegakan keadilan restoratif. “Di antaranya dengan menyusun regulasi dan pokja yang membahas isu keadilan restoratif. Secara regulasi, perlu adanya menempatkan dua jenis sanksi yang setara (double track system) dalam hukum pidana yakni sanksi pidana dan sanksi tindakan dan hal ini sudah diatur dalam RUU KUHP. Selain itu, keadilan restoratif perlu dituangkan dalam bentuk undang-undang, misal RUU KUHAP. Sedangkan untuk Pokja, diharapkan dapat mengawal dan mengimplementasikan keadilan restoratif agar dapat berjalan secara optimal.”
Dalam seminar ini, hadir juga perwakilan dari Jamaika. Jamaika sendiri merupakan negara yang cukup berhasil menerapkan keadilan restoratif. Adrienne Lindsay, Koordinator Program Keadilan Restoratif Nasional, Kementerian Kehakiman Jamaika, mengatakan saat ini di tiap provinsi di Jamaika terdapat satu pusat penanganan keadilan restoratif agar mempermudah akses dan penerapannya. “Keadilan restoratif di Jamaika membuahkan manfaat yang baik. Namun, hal itu tidak lepas dari bantuan secara finansial dari berbagai lembaga termasuk lembaga internasional, dukungan serta kesadaran masyarakat dan kedisiplinan dari aparat negara. Setiap implementasi keadilan restoratif yang sukses, harus ada investasi secara finansial yang memadai karena harus membentuk kesadaran publik juga struktur masyarakat sehingga pelayanan yang direncanakan dapat berjalan dengan baik.”
Pada sesi kedua, yang memiliki tema terkait pengembangan kebijakan kelembagaan keadilan restoratif, dijelaskan bahwa salah satu dampak keadilan restoratif adalah mengurangi kapasitas lapas (lembaga pemasyarakatan). Pujo Harinto, Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, mengungkapkan bahwa lapas di Indonesia sudah melebihi 300% dari kapasitasnya. Overcrowded di lapas ini mengakibatkan berbagai problem baru terjadi seperti, pelarian, narkoba, pungli, penyakit menular, bahkan anggaran membengkak. “Jika keadilan restoratif ini dapat berjalan dengan baik, maka negara dapat menghemat anggaran pengeluarannya. Jika ada hukuman alternatif yang efektif, maka tidak seharusnya dipenjarakan. Penanganan keadilan restoratif saat ini masih parsial, semestinya harus dibentuk satu regulasi yang membahas mengenai hal ini secara keseluruhan. Misalnya dengan membentuk Undang-Undang. Sehingga penerapan keadilan restoratif dapat dilakukan secara kualitas, tidak hanya untuk mengurangi kuantitas terkait overcrowded lapas,” ujar Pujo.
Namun demikian, keadilan restoratif juga memiliki tantangan tersendiri. Rifqi Sjarief Assegaf, Program Director of Democracy, Justice, Governance and Regionalization KEMITRAAN mencontohkan tantangan dari paradigma aparat dan masyarakat yang menganggap penjara sebagai hukuman yang berat, padahal ada opsi lainnya, seperti denda atau pidana bersyarat. “Kesiapan infrastruktur juga menjadi tantangan keadilan restoratif di mana untuk kasus narkoba membutuhkan tempat rehabilitasi. Monitoring dan evaluasi juga menjadi tantangan dalam mendukung proses pembelajaran dan perbaikan aturan agar meminimalisir kesalahan atau penyimpangan. Sehingga, perlu menemukan kesamaan dan keseimbangan pengaturan antar lembaga terkait tujuan, ruang lingkup, dan prosedur keadilan restoratif untuk mencegah diskriminasi dan penyalahgunaan saat memutuskan keadilan, kepastian hukum beserta manfaatnya.
Hal tersebut kemudian diperkuat oleh Andreas Marbun, Peneliti Indonesia Judicial Research Society, yang melihat bahwa keadilan restoratif ketika diterapkan pada kekerasan seksual sulit diimplementasikan. Kasus kekerasan seksual termasuk dalam kasus relasi kuasa disebabkan oleh berbagai faktor seperti, ketimpangan sosial, ketergantungan ekonomi, atau jabatan yang bersifat subordinat. “Oleh karena itu, perlu memahami bahwa penerapan keadilan restoratif harus menyeimbangkan kedudukan antara kedua belah pihak, dan solusi terbaik tidak sama dengan mempertemukan terdakwa dan korban,” ujar Andreas. Ia juga menyatakan bahwa saat ini, sedang didorong penyusunan regulasi terkait keadilan restoratif dengan kerjasama antara berbagai lembaga, seperti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan beserta kementerian dan lembaga terkait lainnya.
Sedangkan pada sesi ketiga, yang bertemakan penguatan Keadilan Restoratif Indonesia: Perspektif Nasional dan Internasional, Erasmus A. T. Napitupulu, Executive Director Institute for Criminal Justice Reform, menjelaskan bahwa penerapan keadilan restoratif sebetulnya sudah tercermin regulasi Indonesia, yaitu Pasal 14 dan Pasal 98 KUHP. “Pasal 14C KUHP berfokus pada korban di mana pelaku harus bertanggung jawab dengan mengganti kerugian yang ditanggung korban. Oleh karena itu, UU yang sudah dimiliki Indonesia sudah bersifat restoratif. Maka, untuk mendorong implementasi keadilan restoratif dapat melalui existing law. Lalu yang perlu menjadi tugas selanjutnya ialah bagaimana mekanisme UU dapat sejalan dengan keadilan restoratif.”
Dalam upaya mendukung penerapan keadilan restoratif di Indonesia, UNODC memiliki berbagai dokumen internasional yang dapat dimanfaatkan. “Namun konsep, standar dan prinsip keadilan restoratif yang ada di tataran internasional perlu dikontekstualisasikan atau dikhususkan di tiap wilayah karena respons atau opini masyarakat setempat sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan,” ucap Rabby Pramudatama dari UNODC Indonesia.
Untuk itu UNODC dapat memberikan pendampingan dalam proses pembentukan regulasi terkait keadilan restoratif di Indonesia. “Melalui kerjasama dengan para legislator dan pemangku kebijakan, harapannya kami dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan dan manfaat keadilan restoratif, sehingga dapat dipahami dengan baik untuk kemudian diterapkan,” ungkap Collie F. Brown menutup diskusi dalam seminar ini.
Siaran pers dan dokumentasi acara ini dapat diunduh di sini.
Tonton kembali seminar nasional Kontekstualisasi Implementasi Keadilan Restoratif di Indonesia:
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.