Laode M. Syarif (tengah), bersama Bernardinus Steni (kanan, Chairman Yayasan Inobu) dan Suin (kiri, Anggota Kelompok Tani Hutan Mekar Bakti) dalam acara Mendukung Upaya Pembaharuan NDC Indonesia guna Mengurangi Dampak Perubahan Iklim di Jakarta (25/8)
Jakarta, 25 Agustus 2022 – Indonesia termasuk negara yang rentan terdampak perubahan iklim karena merupakan negara kepulauan dengan pantai rendah dan terpanjang nomor dua di dunia. Dampak perubahan iklim di Indonesia sudah terasa dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti, perubahan suhu dan pola hujan yang mengganggu proses pertumbuhan tanaman sehingga menyebabkan produksi panen menurun. Perubahan suhu di Indonesia tercatat berkisar 0.01 – 0.95 derajat celcius per dekade. Perubahan suhu ini juga berdampak pada peningkatan penyakit yang disebabkan oleh perubahan cuaca. Contohnya, Kementerian Kesehatan melaporkan salah satu penyebab demam berdarah merebak karena perubahan iklim. Curah hujan yang semakin tinggi, perubahan tingkat kelembapan serta meningkatnya suhu bumi memengaruhi kemampuan adaptasi Aedes aegytpi sebagai pembawa virus demam berdarah (Ernyasih et. al. 2022). Setidaknya setiap 1mm kenaikan curah hujan maka akan menambah kepadatan nyamuk sebanyak 1 ekor (Lahdji A & Putra BB, 2017) Untuk itulah, Indonesia harus beradaptasi terhadap berbagai tekanan lingkungan dan mengatasi dampak sosial dari perubahan iklim itu sendiri.
Komitmen Indonesia untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1.5 derajat Celcius telah disepakati dalam Persetujuan Paris pada tahun 2015. Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) lahir di tahun tersebut sebagai kesepakatan resmi dalam upaya penurunan emisi negara kita yang diserahkan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC). Upaya mewujudkan implementasi NDC memerlukan komitmen dan dukungan dari berbagai pihak. Tidak cuma pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah, kelompok masyarakat, akademisi, pihak internasional dan lain sebagainya.
Sebagai lembaga yang terakreditasi oleh Green Climate Fund dan Adaptation Fund, KEMITRAAN berkomitmen untuk terus mendorong upaya pengendalian perubahan iklim dan keberlanjutan lingkungan.
Laode M. Syarif, Ph.D, Direktur Eksekutif KEMITRAAN, menekankan bahwa dengan kekayaan sumber daya alamnya, Indonesia berada di garis depan dalam upaya pengendalian perubahan iklim, pelestarian keanekaragaman hayati, dan upaya pembangunan. “Hal ini membutuhkan lebih banyak integrasi kebijakan pemerintah dan koherensi dalam implementasi kebijakan, serta kolaborasi yang lebih besar antara pemerintah nasional dan provinsi. Kemudian dengan pemerintah di kawasan Asia Tenggara, dan keterlibatan aktif dari sektor korporasi dan masyarakat sipil di semua tingkatan,” ungkap Laode.
Melalui kerjasama dan dukungan dari lembaga think tank Kanada, IDRC (International Development Research Centre) dan Oak Foundation, serta persetujuan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), KEMITRAAN berupaya meningkatkan kapasitas lembaga, sumber daya manusia dan riset dalam isu perubahan iklim.
Sejalan dengan tujuan bersama untuk mendorong upaya mengurangi dampak perubahan iklim di Indonesia, KEMITRAAN bersama empat lembaga think tank di Indonesia telah menginisiasi Think Climate Indonesia (TCI) Forum sebagai ruang diskusi dan kolaborasi untuk melibatkan lebih banyak pihak dalam berpartisipasi untuk mewujudkan masa depan tangguh iklim. Lembaga think tank yang terlibat lainnya adalah: Yayasan Inobu, World Resources Institute (WRI) Indonesia, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), dan Yayasan Kota Kita.
Pada tanggal 25 Agustus 2022, Think Climate Indonesia Forum mengadakan seminar hybrid bertema Mendukung Upaya Pembaharuan NDC Indonesia guna Mengurangi Dampak Perubahan Iklim di Jakarta. Laode M. Syarif, Ph.D. menggali secara lebih mendalam terkait informasi tentang penerapan kebijakan, tantangan dan inisiatif yang telah dilakukan di tingkat daerah, khususnya dari Pemerintah Provinsi Kaltim (Kalimantan Timur) yang disampaikan oleh Ir. H. Stepi Hakim, MEMD., staf Khusus Gubernur Kaltim untuk Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim.
“Sudah dua pemimpin daerah di Kaltim selalu memprioritaskan isu lingkungan dan perubahan iklim. Gubernur pertama sudah merencanakan program Green Kaltim yang kemudian diterjemahkan ke dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) agar program tersebut bisa teranggarkan,” ujar Stepi Hakim yang bergabung secara virtual.
Laode mengungkapkan bahwa aspek penganggaran sangat penting sebagai pintu masuk dalam mempengaruhi kebijakan dan sering digunakan sebagai alat insentif untuk mendapatkan kemauan politik dari pemerintah daerah untuk memprioritaskan tata kelola iklim. Khususnya untuk memperkuat ketahanan dan mitigasi perubahan iklim di tingkat daerah.
Terkait Ibu Kota Nusantara (IKN), Stepi mengungkapkan bahwa IKN bukan merupakan milik Pemprov Kaltim saja, namun juga milik Nasional dan sudah ada Badan Otorita langsung yang mengurusi. Namun demikian, kami sudah menyampaikan risiko yang akan timbul, terutama dalam hal pelepasan emisi. Disisi lain, penempatan lain penempatan IKN cukup menggembirakan karena akan memajukan perekonomian Kaltim,” tambah Stepi.
Melalui dukungan IDRC dan Oak Foundation, KEMITRAAN melakukan pengukuran terhadap tata kelola ketahanan iklim (IGI-Ketahanan Iklim) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. IGI-Ketahanan Iklim ini dirancang untuk dapat memberikan data komprehensif terkait dengan status kesiapan daerah dalam menghadapi perubahan iklim. “Harapannya, IGI-Ketahanan Iklim akan akan memberikan gambaran seberapa jauh kapasitas dan kontribusi daerah dalam upaya penurunan emisi secara inklusif sesuai dengan kewenangan, fungsi serta peran masing-masing stakeholder,” ujar Laode.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.