Beranda / Publication

Memperkuat Komitmen Negara Mewujudkan Perlindungan pada Pembela HAM

Foto: Dok. Kemitraan

Dari kiri ke kanan: Joris Ramm (Diplomat Kedutaan Belanda), Ardi Stoios-Braken (Wakil Duta Besar Belanda), Ririn Sefsani (Team Leader Human Rights Defenders Program), Evi Mariani (Moderator acara, Pemimpin Umum Project Multatuli), Marsya Mutmaihan (Peneliti  ICEL), Ardimanto Adiputro (Wakil Direktur IMPARSIAL -The Indonesian Human Rights Monitor), Ade Wahyudin (Direktur LBH Pers), Rifqi S. Assegaf (Direktur Program Democracy, Justice, Governance and Regionalization KEMITRAAN)

Jakarta, 27 Januari 2022 – Terlepas dari inisiatif pemerintah untuk menegakkan HAM (hak asasi manusia), pembela HAM terus berada di bawah tekanan. Khususnya pembela HAM sektor lingkungan yang semakin rentan menghadapi ancaman keamanan. Pemerintah, masyarakat sipil dan sistem peradilan perlu meningkatkan kolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang aman dan transparan. Namun upaya kolaborasi ini kerap menghadapi tantangan yang tidak mudah. 

Data ELSAM mencatat lebih dari dua kali lipat serangan terhadap pembela HAM sektor lingkungan selama kurun waktu 2019 hingga 2020, dari 27 menjadi 60 kasus. KEMITRAAN yang tergabung dalam Koalisi Pembela HAM mencatat terjadi 116 penyerangan terhadap pembela HAM  sektor lingkungan di tahun 2020. Komnas HAM dan Komnas Perempuan menyebutkan pula bahwa komitmen pemerintah pada penegakan HAM makin memudar.

Sejak awal 2019 hingga akhir 2021, KEMITRAAN bekerjasama dengan Kedutaan Belanda melalui program Perlindungan Pembela HAM Sektor Lingkungan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Tujuan utama program ini adalah untuk mendorong perlindungan dan keamanan terhadap pembela HAM khususnya sektor lingkungan, baik melalui perubahan kebijakan maupun peningkatan kapasitan masyarakat. Program ini bekerjasama dengan mitra organisasi masyarakat, yakni di tingkat nasional, ELSAM, ICEL, Imparsial dan LBH Pers dan di tingkat daerah adalah LBH Semarang, Celebes Institute, JATAM Sulawesi Tengah, Yayasan Suara Nurani Minaesa, JATAM Kalimatan Timur, WALHI Sumatera Barat, WALHI Sumatera Selatan dan WALHI Jawa Timur. Sedangkan para mitra. Program ini juga melibatkan kementerian serta lembaga negara yang terkait HAM.

Program ini dilaksanakan di 7 Provinsi (Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara). Program ini telah menjangkau lebih dari 2000 para pembela HAM dari akar rumput yang memperjuangkan hak atas sumber kehidupan dan lingkungan yang bersih melalui berbagai pelatihan advokasi, pertukaran pengetahuan dan advokasi bersama. 

Dalam rangka penutupan sekaligus menyebarluaskan berbagai hasil pengetahuan yang dihasilkan dari program ini, KEMITRAAN mengadakan seminar hybrid berjudul Memperkuat Komitmen Negara Mewujudkan Perlindungan pada Pembela HAM. Seminar ini dilaksanakan pada hari Kamis, 27 Januari 2022 di Erasmus Huis, Jakarta. Peserta yang hadir langsung secara terbatas dan melalui virtual berasal dari para penerima manfaat, mitra organisasi masyarakat, perwakilan pemerintah, media dan masyarakat umum. 

Acara dibuka oleh Laode M. Syarif selaku Direktur Eksekutif KEMITRAAN yang menyatakan bahwa meningkatnya kasus kekerasan dan kriminalisasi pada pembela HAM khususnya sektor lingkungan menunjukan belum berhasilnya Pemerintah dalam perlindungan dan penegakan HAM. “KEMITRAAN mengapresiasi kerjasama dengan Kedutaan Belanda serta para mitra yang telah menghasilkan berbagai rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam perlindungan pembela HAM sektor lingkungan. Seperti penyusunan draft naskah akademik dan rancangan amandemen UU HAM, draft amandemen peraturan 5/2015 tentang Prosedur Perlindungan Terhadap Pembela HAM dan panduan pelaksanaannya serta kertas kebijakan sebagai masukan atas Rapermen KLHK terkait Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP).  Semoga rekomendasi kebijakan ini akan memicu pemerintah menuntaskan janji perlindungan bagi pembela HAM untuk memajukan demokrasi di Indonesia,” ungkap Laode. 

Ardi Stoios-Braken, Wakil Duta Besar Belanda, mewakili Kedutaan Belanda

Lambert Grijns, Duta Besar Kerajaan Belanda di Indonesia menekankan perlunya kerjasama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan peradilan, “Pemerintah harus memastikan untuk melibatkan dan melindungi pembela HAM dan jurnalis. Mereka adalah mata dan telinga bagi pemerintah di lapangan. Meskipun kritik dari mereka terkadang sulit diterima, itu adalah langkah pertama menuju kemajuan.” 

 “Banyak kasus kerusakan lingkungan di Sulawesi Utara, terutama sektor tambang. Contohnya peristiwa Buyat. Saat ini saya bersama Save Sangihe Island sedang melakukan advokasi untuk menolak tambang di kawasan pulau Sangihe karena kawasan ini merupakan ring of fire, sumber kehidupan warga, dan tempat hidup habibat burung langka Sariwang Sangihe. Dukungan KEMITRAAN memperkuat kapasitas warga dalam advokasi dan membangun perlindungan keamanan, membantu perjuangan kami di tengah minimnya perlindungan negara,” ujar Jull Takaliuang, perempuan pembela HAM dZan direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa, Sulawesi Utara. 

Mahfud MD selaku Menteri Menkopolhukam dalam pidato utama yang disampaikan secara virtual di acara ini mengakui bahwa pelanggaran HAM tidak mudah diselesaikan karena selain ada pembuktian yang rumit juga ada masalah-masalah politis yang menyertai. “Langkah pemerintah adalah telah menerbitkan Peraturan Presiden no. 53 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Tentang HAM. Ini yang dimaksudkan untuk melakukan pemajuan, pemenuhan, penghormatan dan perlindungan serta penegakan HAM, di luar hal-hal rutin seperti pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Kedua, dibentuknya Gugus Tugas Bisnis dan HAM yang menyertakan masyarakat termasuk perusahaan, untuk turut serta menghormati HAM dalam berbagai bidang. Semoga seminar ini dapat memberikan rekomendasi dan dorongan terhadap kita semua untuk mewujudkan komitmen itu di lapangan. Karena kita semua baik pemerintah maupun masyarakat itu berkepentingan bagi pemenuhan dan pemajuan HAM,” ungkap Mahfud MD. 

Setelah acara resmi dibuka, sesi pertama yang bertajuk Komitmen Politik Negara dan Urgensi Kebijakan Perlindungan pada Pembela HAM menghadirkan para pembicara: 

  1. Prof. Dr, Surya Jaya (Hakim Agung pada Mahkamah Agung) 
  2. Taufik Basari, S.H.,S.Hum, L.LM (Komisi III DPR RI)
  3. Yudi Handono, SH. MH. sebagai Direktur Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara dan Tindak Pidana Umum Lainnya
  4. Sandrayati Moniaga (Komisioner Pengkajian dan Penelitian KOMNAS HAM)
  5. Ardimanto Adiputro (Wakil Direktur IMPARSIAL -The Indonesian Human Rights Monitor)
  6. Marsya Mutmainah Handayani (Peneliti ICEL – Indonesian Center for Environmental Law)

Dari sisi organisasi masyarakat, Marsya Mutmaihan selaku Peneliti  ICEL melihat pemerintah masih harus memperkuat regulasi Anti-SLAPP. “Kemenangan enam warga  di Bangka Belitung yang dipidana dengan pasal SLAPP karena memperjuangkan lingkungan hidup melalui Putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung menjadi preseden baik dalam mengisi kekosongan hukum Anti-SLAPP di Indonesia. dan seharusnya dapat menjadi langkah positif untuk segera diterbitkannya Rapermen Anti-SLAPP. Regulasi Anti-SLAPP perlu juga diperkuat dalam hukum acara, baik dalam Revisi KUHAP dan KUHAPER agar SLAPP tidak mudah digunakan untuk menjerat suara publik bahkan seharusnya SLAPP perlu dihentikan sedini mungkin.”

Taufik Basari dari Komisi III DPR, memandang HAM harus menjadi diskursus masyarakat yang menarik, “Kita harusnya malu masih ada pelanggaran HAM. Kita harusnya memastikan tidak ada rakyat yang haknya terlanggar akibat adanya pembangunan. Ketika HAM menjadi diskursus publik, maka akan mengundang lirikan dari kepentingan politik sehingga bisa masuk prioritas.” 

Sementara Prof. Dr. Surya Jaya, Hakim Agung dari Mahkamah Agung, menekankan pada pemahaman yang belum sinkron mengenai HAM antara masyarakat dan Undang-undang yang sudah ada, “Yang terpenting peningkatan penanganan kasus  perjuangan HAM yang dilaporkan. Kualitas SDM semakin baik sehingga terjadi pemahaman sama,” ungkap beliau.

Dalam acara ini KEMITRAAN juga meluncurkan situs Human Rights Defenders Knowledge System (HRDKS) yang merupakan wadah pembelajaran dan pertukaran pengetahuan terkait HAM dan pembela HAM di Indonesia, khususnya di sektor lingkungan. Para pengunjung situs pun dapat memantau kasus kriminalisasi yang menimpa pembela HAM sekaligus memberikan dukungan kepada mereka. Situs HRDKS dapat diakses melalui: https://hrdks.kemitraan.or.id/

Acara ini selengkapnya dapat disaksikan melalui youtube.com/c/KemitraanIndonesiaPartnership

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.