We know how to bring the economy back to life. What we do not know is how to bring people back to life.
Nana Akufo-Addo, Presiden Ghana
Pernyataan Presiden Ghana bahwa ”kita bisa mengembalikan kehidupan ekonomi, tapi tak mungkin menghidupkan ratusan ribu yang telah meninggal”, pantas jadi bahan renungan bagi kita semua.
Semestinya segala upaya dan gerak langkah pemerintah, dari pusat sampai desa, dan komunitas harus kita fokuskan pada menghentikan penularan Covid-19 agar ekonomi kita tumbuh kembali. Penanganan yang tak fokus pada penghentian penularan hanya akan memperberat kondisi ekonomi nasional dan masyarakat.
Oleh karena itu, pembenahan tata kelola (governance) penanganan Covid-19 harus segera dilaksanakan. Sebab, penanganan pandemi sangat bergantung pada koordinasi antarkementerian dan lembaga (K/L) dan keseragaman respons pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Tata kelola penuh diskresi
Selama ini respons pemerintah banyak diwarnai diskresi Presiden dan kurang mengindahkan sejumlah undang-undang yang relevan dalam tata kelola Covid-19. Diskresi hanya bisa dilakukan jika tak ada aturan yang mengikat atau aturan yang ada kurang jelas pengaturannya.
Sejumlah diskresi yang disampaikan pemerintah pusat sering tak dapat dieksekusi di daerah karena bertentangan dan tak sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
Di harian ini saya pernah menulis ”Menyelamatkan Dana Covid-19” (12/6/2020), tapi tampaknya pemerintah masih banyak melakukan kelalaian dalam pemanfaatan dan pengawasan dana Covid-19 yang berjumlah Rp 1.500 triliun lebih.
Pendeknya, pelanggaran terjadi di semua level dan tersebar merata di seluruh Indonesia.
Menurut asesmen awal yang dilakukan Kemitraan, setidaknya ditemukan sejumlah pelanggaran oleh pejabat dan swasta yang terdiri dari menteri/kepala lembaga, gubernur, staf khusus presiden, sekretaris daerah, bupati, pegawai BUMN, kepala organisasi perangkat daerah (OPD), kepala unit pelaksana teknis, camat, kepala desa, badan musyawarah desa, sekretaris desa, bendahara desa, kepala dusun, RT/RW, dan swasta (bridge project report, Kemitraan).
Pendeknya, pelanggaran terjadi di semua level dan tersebar merata di seluruh Indonesia. Kasus Menteri Sosial Juliari Batubara adalah contoh kejahatan pemanfaatan dana Covid-19 tergambar nyata keterlibatan eksekutif, legislatif, dan swasta dengan memanfaatkan perangkat desa secara terstruktur.
Sayang sekali, pengungkapan kasus ini tidak dikembangkan dengan baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga jaringannya tidak ditelusuri dengan lengkap.
Di samping persoalan transparansi dan akuntabilitas, kajian awal KPK juga menemukan bahwa penentuan alokasi anggaran Covid-19 untuk tiap-tiap komponen juga tak didasarkan pada perhitungan yang matang sehingga menimbulkan ketidaktepatan sasaran.
Tata kelola penanganan Covid-19 banyak yang tak taat asas sebagaimana digariskan UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sehingga menimbulkan kesulitan implementasi di lapangan akibat diskresi-diskresi yang dikeluarkan Presiden menjadi kurang jelas dasar hukumnya.
Dari segi terminologi, pemerintah tak patuh aturan karena UU Karantina Kesehatan hanya mengenal istilah isolasi, karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan pembatasan sosial berskala besar.
Istilah-istilah itu didefinisikan dengan jelas di dalam Pasal 1 UU Karantina Kesehatan sehingga jelas dan lebih gampang dipahami dibandingkan istilah yang diciptakan melalui diskresi pemerintah, seperti isolasi mandiri, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali, PPKM mikro, penebalan PPKM mikro, PPKM darurat, dan PPKM level 4.
Istilah-istilah tersebut, selain tak dikenal dalam UU, juga tidak didefinisikan secara jelas sehingga perlu upaya ekstra untuk dipahami masyarakat. Anehnya, semua sanksi atas pelanggaran semua jenis pembatasan itu merujuk pada UU Karantina Kesehatan, tapi terminologi UU tak diikuti oleh pemerintah sehingga terkesan ”seenaknya sendiri”.
Pemerintah juga tak taat asas dalam penugasan dan penunjukan para pejabat yang memimpin penanganan Covid-19.
Sejak awal pandemi sampai sekarang, Menteri Kesehatan seperti dikesampingkan dalam penanganan Covid-19. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Presiden seakan-akan lebih mengutamakan Kementerian BUMN dan kementerian lain dalam penanganan Covid-19 dibandingkan Kementerian Kesehatan, khususnya pada tahun pertama pandemi sampai dengan digantinya Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Intinya, pandemi Covid-19 adalah masalah kesehatan dan bukan masalah ekonomi.
Pergantian Menteri Kesehatan, ke Budi G Sadikin, diharapkan dapat mengambil alih komando penanganan Covid-19. Akan tetapi, sampai kini, perannya masih terlihat marginal.
Presiden bahkan memberikan komando pencegahan Covid-19 kepada Menko Maritim Luhut B Pandjaitan yang kementeriannya tak memiliki keterkaitan langsung dengan penyakit menular. Ingat, Kemenko Maritim hanya membawahkan ESDM, PUPR, Kemenhub, KLHK, KKP, BKPM, dan Kemenparekraf yang tak bersinggungan langsung dengan isu kesehatan.
Kesalahan ini bahkan dilanjutkan dengan penunjukan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto untuk memimpin PPKM di luar Jawa dan Bali. Padahal, portofolio Kemenko Perekonomian membawahkan Kemenkeu, Ketenagakerjaan, Perindustrian, Perdagangan, Pertanian, Agraria dan Tata Ruang, BUMN dan UMKM, yang jelas tak bersentuhan langsung dengan isu kesehatan.
Oleh karena itu, penunjukan Luhut dan Airlangga bukan hanya menyalahi portofolio kementerian, melainkan pada saat yang sama juga menunjukkan bahwa Presiden tak menganggap pandemi ini sebagai masalah kesehatan, tapi sebagai masalah ekonomi.
Kesalahan seperti ini harus diluruskan karena menurut UU Karantina Kesehatan, yang paling bertanggung jawab dalam pengendalian pandemi adalah Menteri Kesehatan. Perbaikan ini penting dilakukan agar negara bekerja sesuai dengan hukum dan bukan didasarkan pada diskresi yang berlebihan sehingga menyulitkan koordinasi antara K/L dan pemda.
Intinya, pandemi Covid-19 adalah masalah kesehatan dan bukan masalah ekonomi. Tanpa pemulihan kesehatan, niscaya pertumbuhan ekonomi tak dapat dikendalikan. Model pelaporan yang tak jujur dengan mengurangi jumlah masyarakat yang tertular dan jumlah kematian yang dihilangkan dari laporan juga hanya akan memperparah terpuruknya ekonomi.
Momentum berbenah
Sudah saatnya kita benahi tata kelola Covid-19 ini sesuai aturan hukum dan mengikuti prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Perbaikan dapat dimulai dengan menempatkan Covid-19 sebagai masalah kesehatan dan bukan masalah ekonomi. Pergeseran paradigma ini akan menggeser semua prioritas penanganan Covid-19 dan diharapkan dapat mengikuti UU Karantina Kesehatan.
Perubahan strategi ini sebaiknya diikuti pergantian dan penyerahan komando penanganan Covid-19, kepada Menteri Kesehatan, atau Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), sebagai koordinator Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Saya sangat yakin ”duo” Menko PMK bersama Menteri Kesehatan akan mampu memimpin perang melawan Covid-19 karena portofolio kedua kementerian tersebut membawahkan kesehatan, masalah sosial, dan kemanusiaan.
Secara khusus, Menko PMK layak untuk memimpin karena Covid-19 memerlukan pendidikan masyarakat yang luas untuk melawan hoaks (informasi sesat) yang sering dibumbui ceramah agama sehingga memengaruhi kepercayaan dan ketaatan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan.
Menko PMK bisa meminta Menteri Agama dan Mendikbudristek untuk menggandeng tokoh lintas agama dan ormas-ormas keagamaan, ulama, dan para mubalig berpengaruh untuk meluruskan informasi sesat yang beredar.
Dari pengamatan, Menko Maritim selama ini kurang diterima dalam komunitas keagamaan karena selalu menggunakan ”bahasa ekonomi” dan kurang sabar dalam meladeni polarisasi pendapat yang berkembang di masyarakat.
Pilihan rasional lainnya, panglima perang melawan Covid-19 dapat diserahkan kepada ”empat serangkai”, yakni Menko PMK, Menteri Kesehatan, Menko Polhukam, dan Menteri Dalam Negeri. Empat serangkai ini memiliki kesesuaian portofolio yang diamanahkan oleh UU dan memiliki massa dan jaringan sampai ke seluruh pelosok negeri.
Menko Polhukam yang membawahkan TNI dan Polri akan fokus pada pengawasan ketaatan pelaksanaan protokol kesehatan, sedangkan Mendagri akan fokus pada kesiapan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam melawan Covid-19, agar masalah pergeseran alokasi anggaran daerah dan kurangnya daya serap daerah bisa diminimalkan.
Empat serangkai ini juga akan efektif dalam mengonsolidasikan semua elemen pemerintah dan masyarakat karena mereka terbiasa berhubungan dengan para pemimpin informal di tingkat tapak.
Empat serangkai di atas tentunya perlu mendapatkan dukungan dari kementerian dan lembaga yang lain, khususnya Kementerian Keuangan, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Perindustrian, karena Covid-19 sangat berpengaruh pada kehidupan ekonomi dan para pekerja sektor formal dan informal.
Indonesia negara hukum dan bukan negara diskresi.
Khusus untuk Menteri Keuangan, sebaiknya besaran pembagian dan pengalokasian dana Covid-19 dibuat berdasarkan kebutuhan riil masyarakat karena, menurut temuan awal Tim Monitoring KPK, banyak yang tidak tepat sasaran. Di samping itu, dari segi pemanfaatan harus dijaga secara ketat agar tidak lagi terjadi penyalahgunaan sebagaimana yang dilakukan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.
Untuk itu, sebaiknya Kemenkeu menggandeng BPKP, KPK, dan LKPP untuk membuat Panduan Lengkap Pemanfaatan Dana Covid-19. Sebab, UU No 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Pendanaan Pandemi Covid-19 belum cukup untuk memberikan panduan bagi K/L dan pemda yang terkenal lambat dalam mengeksekusi kebijakan.
Indonesia negara hukum dan bukan negara diskresi. Sudah sepantasnya komando perang melawan Covid-19 dipegang institusi dan pemimpin yang memiliki legitimasi hukum dan portofolio yang sesuai.
Ditulis oleh: Laode M Syarif. Penulis adalah Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform (KEMITRAAN).
Artikel ini adalah opini penulis. Artikel ini pernah tayang di Kompas.id.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.