Dunia memperingati 20 Februari sebagai Hari Keadilan Sosial. Bagi rakyat Indonesia, keadilan sosial merupakan bunyi salah satu dari lima sila dalam Pancasila. Para pendiri bangsa bahkan menganggap sila terakhir dalam Pancasila yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memiliki nilai tersendiri, dan menjadi satu-satunya sila yang dilukiskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berbunyi “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pertanyaannya kemudian, bagaimana falsafah keadilan sosial kita maknai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini?
Hasil kajian KEMITRAAN melalui program ESTUNGKARA (Agustus – November 2022) menemukan adanya tantangan dalam memastikan setiap warga negara mendapatkan keadilan sosial, terutama bagi masyarakat adat. Survey dengan melibatkan sebanyak 13.923 responden yang notabene adalah masyarakat adat dan etnis minoritas di 7 Provinsi (Jambi, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Banten) menemukan adanya kesulitan yang mereka alami terhadap akses layanan dasar, program bantuan pemerintah, serta proses pembangunan.
Akibatnya, sekitar 18 persen dari total responden belum memiliki kartu keluarga, dan 89 persen responden (3.961 anak berusia di bawah 17 tahun) tidak memiliki kartu identitas anak. Dengan kondisi tersebut, ditambah lagi dengan stigma serta lokasi sekolah yang sukar dijangkau kelompok masyarakat adat, hampir dipastikan anak-anak akan kesulitan mengakses pendidikan formal. Orang tua mereka pun tidak masuk menjadi penerima manfaat bantuan sosial dari negara terutama saat pendapatan mereka menurun akibat pandemi COVID-19 melanda. Sebelum pandemi, sekitar 61 persen responden menjawab pendapatan mereka di bawah Rp 1 juta per bulan.
Survei juga menemukan bahwa ada 513 perempuan adat (3,69%) adalah kepala keluarga, dengan sebagian besarnya bekerja serabutan dan berkubang dalam kemiskinan.
Berbicara mata pencaharian masyarakat adat yang jumlahnya diperkirakan sekitar 70 juta jiwa atau sekitar sepertiga dari total penduduk Indonesia, mayoritas hidup dan bergantung pada hasil hutan. Namun demikian, mereka justru golongan yang paling sedikit mendapat kemanfaatan dari program Perhutanan Sosial (PS) yang menyasar pemanfaatan hutan untuk masyarakat. Data terakhir (Oktober 2022-PSKL-KLHK)[2] menyebut luas kawasan PS untuk masyarakat adat sangat luas, sekitar 1,1 jt hektar, namun yang sudah ditetapkan menjadi Hutan Adat baru sekitar 108.576 Ha, sementara 1.088.149 Ha sisanya baru berkategori Indikatif Hutan Adat.
Keadilan sosial juga belum sepenuhnya dirasakan oleh sebagian warga yang berprofesi sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang diperkirakan berjumlah sekitar 5 juta orang. Profesi yang didominasi oleh perempuan ini kerap mendapat ketidakadilan, dari mulai tidak mendapatkan kartu jaminan kesehatan, tenaga kerja hingga upah di bawah Upah Minimum Regional/Provinsi (UMR).
Kondisi ini menjadikan mereka yang berprofesi sebagai PRT jauh dari perlindungan negara terhadap hak-haknya. Kasus-kasus kekerasan, perlakuan tidak menyenangkan kerap dirasakan dan juga dieksploitasi tanpa dibayarkan hak-haknya. Pada sisi lain, mereka tidak dapat melawan karena takut diberhentikan dan kehilangan mata pencaharian.
Jika sudah demikian apapun program bantuan pemerintah yang digulirkan, akan kecil dampaknya dirasakan oleh mereka. Alih-alih menurunkan angka kemiskinan, program-program pemerintah juga tidak tepat sasaran, dan menjadikan kemiskinan menurun kepada anak-anak dan keluarga mereka.
Pangkal masalah dari belum terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat adat dan perempuan pekerja rumah tangga adalah ketiadaan regulasi yang melindungi hak dan kebutuhan mereka. Perjalanan advokasi mengawal RUU Masyarakat Adat telah berbilang tahun dan berganti rezim kepemimpinan, bahkan RUU PRT sudah lebih dari 19 tahun dan negara belum juga mengesahkan jadi undang-undang.
Tahun ini, kedua RUU tersebut masuk dalam Prolegnas prioritas. Pengesahan keduanya menjadi UU akan menjadi salah satu warisan baik di akhir masa pemerintahan Jokowi, sekaligus menepati janji konstitusi bahwa prinsip keadilan sosial diberikan ke seluruh warga negara tanpa terkecuali.
Salam perjuangan!
Laode M. Syarif, Ph.D
Direktur Eksekutif KEMITRAAN
Catatan:
[1] BRWA AMAN dalam KATADATA (https://katadata.co.id/padjar/infografik/5f8030631f92a/sebaran-masyarakat-adat)
[2] Capaian Perhutanan Sosial Sampai Dengan 1 Oktober http://pskl.menlhk.go.id/berita/437-capaian-perhutanan-sosial-sampai-dengan-1-oktober-2022.html#:~:text=Jakarta%20%E2%80%93%20Sampai%20dengan%201%20Oktober,Kemitraan%20Lingkungan%20(Ditjen%20PSKL).
Artikel ini telah dimuat di Kabar KEMITRAAN Februari 2023
Berlangganan newsletter KEMITRAAN melalui tautan ini.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.