Populasi masyarakat adat diperkirakan hanya 476 juta jiwa (World Bank, 2020) atau kurang dari 6% dari populasi dunia. Tapi mereka mengelola lebih lebih 80% keanekaragaman hayati global yang berada di wilayah adat mereka. Sekitar 200 juta masyarakat adat hidup di dalam dan sekitar hutan tropis yang mereka lindungi dan kelola. Belum termasuk di dalamnya sekitar 100 suku adat yang masih belum berhubungan dengan dunia luar. Di Indonesia, terdapat 2371 komunitas adat yang menjadi anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dimana lebih dari 10,8 juta hektar wilayah adatnya sudah dipetakan.
Kawasan Hutan Indonesia dibagi menjadi fungsi dan status, diantaranya hutan konservasi sebagai pengawetan keanekaragaman hayati termasuk hutan lindung. “Hutan adat berada di mana-di mana, bisa masuk ke hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi. Bisa juga semua hutan adalah wilayah ulayat masyarakat adat, misalnya di Papua. Semua Hutan di Papua itu adalah hutan adat,” ungkap Gladi Hardiyanto, Project Manager Community Based Forest Management KEMITRAAN dalam acara Kita Jaga Hutan, Hutan Jaga Kita.
Dalam acara yang dilaksanakan untuk merayakan Hari Hutan Indonesia tanggal 7 Agustus 2021, lelaki yang akrab disapa Yayan ini memaparkan bahwa hutan bukan hanya kayu. “Nilai hasil hutan kayu hanya 5% dari keseluruhan nilai hutan. Akan tetapi jika yang 5% ini rusak maka 95% yang lain juga akan turut rusak. Itulah mengapa kita tetap harus melestarikan hutan,” ungkapnya.
Yayan menyayangkan masih minimnya perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat, yang dibuktikan bahwa sampai sekarang RUU Masyarakat Adat belum juga disahkan dan diundangkan. Selain itu penetapan hutan adat juga masih sangat sedikit. “Hanya sekitar 57 ribu ha atau 0,05 % dari luas Kawasan hutan. Dengan indikatif 1,09 juta ha atau 0,9% dari luas kawasan hutan Indonesia. Sangat jauh jika dibandingkan yang sudah diberikan pemanfaatannya kepada perusahaan-perusahaan swasta dan BUMN, yang telah mencapai 34,18 juta hektar” paparnya.
Selain itu masih terjadi stigma negatif atas keberadaan masyarakat adat, kriminalisasi, konflik tenurial atas ulayat dan hutan adat dan lain sebagainya. Misalnya kasus konflik tenurial antara Masyarakat Adat Natumingka di Kabupaten Toba Samosir yang lahan adatnya di ambil oleh PT Toba Pulp Lestari dan konflik antara masyarakat adat Sabuai Maluku dimana hutan adatnya ditebang oleh perusahaan yang kemudian menyebabkan banjir besar.
Padahal masyarakat adatlah yang justru menjaga, melestarikan dan melawan segala upaya yang akan merusak hutan. Ini didasari pengetahuan, praktik adat dan hubungan spiritualitas masyarakat adat dengan alam. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa Masyarakat Adat adalah pelindung hutan dan keanekaragaman hayati terbaik di dunia.
“Kabar baiknya masyarakat adat sudah mulai diperhatikan dan mendapatkan dukungan, fasilitasi serta program pemberdayaan ekonomi. Di tengah pandemi terbukti dengan segala kearifannya masyarakat adat mampu bertahan dan tidak banyak terdampak penularan karena mereka melakukan lockdown lokal,” papar Yayan.
Yayan pun menceritakan contoh kasus yang didampingi langsung oleh KEMITRAAN di kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Penetapan hutan adat melewati jalan panjang dan berliku selama empat tahun.
Yayan memberikan beberapa cara agar masyarakat bisa membantu masyarakat adat. Yaitu terlibat dalam gerakan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, termasuk hutan adat. Salah satu yang paling utama adalah mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Mobilisasi sumber daya untuk membantu peningkatan kapasitas komunitas adat. Serta membeli, menggunakan, mengkonsumsi produk dan komoditas yang dihasilkan komunitas adat.
Sebelum menutup acara, Yayan mengucapkan pepatah dari suku Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan, Injo boronga topena linoa (Hutan adalah selimut dunia), Punna panra’I boronga panra’ to’I linoa lollong munena (Jika hutan rusak maka rusak semua dunia dan seisinya).
Sejak tahun lalu, KEMITRAAN terlibat dalam peringatan Hari Hutan Indonesia (HHI) dirayakan setiap tanggal 7 Agustus. Tanggal ini dipilih sebagai momen refleksi disahkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 mengenai Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut. Jika tahun lalu bertemakan “Hutan Kita Juara”, tahun ini mengambil tema “Kita Jaga Hutan, Hutan Jaga Kita”. Menariknya, tahun ini sudah terbentuk koalisi yang merupakan perwakilan publik inisiator peringatan HHI, yaitu sebanyak 26 organisasi, dan dinamakan Konsorsium HHI. Selain KEMITRAAN, organisasi lain yang terlibat antara lain, Ayo Ke Taman, Bogor Ngariung, Change.org Indonesia, Coaction Indonesia, Earth Hour Indonesia, Forum Konservasi Leuser, Hutan Itu Indonesia, Indorelawan, KKI Warsi, Lindungi Hutan, Pantau Gambut, Perkumpulan Bentara Papua, Perkumpulan Kaoem Telapak, Rimba Makmur Utama, Terasmitra, Thirst Project Indonesia/ Watery Nation, WeCare.id, World Cleanup Day Indonesia, World Resources Institute (WRI) Indonesia, Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), Yayasan HAkA, Yayasan KEHATI, Yayasan Madani Berkelanjutan, Yayasan Rekam Jejak Alam Nusantara, dan Zona Bening.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.