Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR, 2009) menyatakan bahwa kenaikan muka air laut di Indonesia akan mencapai 6-30 cm pada tahun 2030, dengan rata-rata kenaikan antara 15-18 cm. Selain itu, suhu udara meningkat 0,69% selama 25 tahun terakhir akibat pemanasan global, dan curah hujan diperkirakan meningkat rata-rata 5 persen pada tahun 2030. Kondisi ini semakin memperburuk kerentanan negara-negara kepulauan seperti Indonesia, dari bencana seperti banjir dan tanah longsor, dan berbagai dampak terhadap produksi pertanian dan mata pencaharian lainnya.
Melihat dampaknya yang luar biasa, butuh komitmen dari setiap pihak untuk bersama-sama mengurangi dampak perubahan iklim dunia. Indonesia, sebagai negara kepulauan sekaligus agraris memiliki kepentingan untuk menjaga wilayahnya jauh dari bencana iklim. Dalam konteks tata kelola, program perubahan iklim menjadi kewenangan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Hal ini justru memunculkan kualitas tata kelola dengan segala tantangan sebagai akibat yang ditimbulkannya.
Sebagai upaya mendukung pemerintah Indonesia dalam memetakan kinerja daerah terhadap tata kelola perubahan iklim, pada tahun 2017 KEMITRAAN telah melakukan studi Climate Change Governance Assessment (CCGA) di empat lokasi; Kabupaten Kebumen dan Kota Pekalongan – Jawa Tengah, Kabupaten Pulang Pisau – Kalimantan Tengah dan Kabupaten Donggala – Sulawesi Tengah. CCGA merupakan studi modifikasi dari Indonesia Governance Index (IGI) yang telah dilakukan pada tahun 2012 – 2013 dengan memperkuat aspek aspek indikator perubahan iklim.
Salah satu hasil penelitian menyebut bahwa daerah belum serius mengalokasikan dana untuk adaptasi perubahan iklim, kendati dampak seperti banjir rob, gagal panen, penyakit menular yang yang ditularkan melalui udara, air dan vektor. Di level desa, kesadaran masyarakat juga belum terbentuk. Fenomena alam yang terjadi dianggap sebagai sebuah siklus normal yang berulang, meski hasil tangkapan ikan di laut berkurang jauh, produktivitas pertanian menurun drastis, serta penyakit mudah menyerang.
Pada tahun 2018 hingga 2019, KEMITRAAN juga telah melakukan studi kolaboratif Penandaan Anggaran (Budget Tagging) di sektor energi baru terbarukan bersama dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kemenkeu dan Dirjen Energi Baru Terbarukan, Kementerian ESDM.
Dalam studi tersebut, ditemukan menemukan bahwa pelaksanaan kebijakan perubahan iklim terhambat oleh peraturan yang tumpang tindih antar kementerian lembaga baik di tingkat nasional dan pemerintah daerah. Dalam tatanan kelembagaan Indonesia, semua respon perubahan iklim baik aksi mitigasi maupun adaptasi merupakan isu lintas sektoral. Ini berarti bahwa hal itu perlu ditangani oleh setiap tingkat pemerintahan yang berbeda dalam otoritas yang sudah ada. Selain itu, berdasarkan hasil studi ditemukan bahwa pendekatan money follow function yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia justru membuat ego pada setiap sektor dan level di pemerintahan.
Melihat hasilnya yang mampu memotret kesiapan daerah dan nasional pada program perubahan iklim, serta tantangan dampaknya yang kian nyata, Tahun 2021 ini KEMITRAAN melalui dukungan International Development Research Center (IDRC) – Canada lembaga Think Tank global dan Oak Foundation serta persetujuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akan melanjutkan studi penandaan anggaran pemerintah berkolaborasi kembali dengan BKF-Kemenkeu khususnya terkait isu perubahan iklim baik di sektor mitigasi maupun adaptasi. Studi penandaan anggaran ini juga merupakan bentuk dukungan KEMITRAAN untuk program Regional Climate Budget Tagging yang diluncurkan oleh Sri Mulyani (Menteri Keuangan) dalam acara Dialog Publik: Pendanaan Publik Perubahan Iklim di Tingkat Nasional dan Daerah untuk Pencapaian NDC pada tanggal 30 Maret 2021.
Lebih jauh lagi, hasil studi ini harapannya dapat digunakan menjadi acuan untuk mengatasi permasalahan dalam proses perencanaan dan digunakan sebagai alat monitoring ex ante oleh Bappenas. Selain itu, hasil studi ini menjadi data sebagai referensi bagi BKF-Kemenkeu dan Bappenas untuk lebih mengembangkan kerangka pendanaan iklim yang juga sensitif gender di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.
Melalui dukungan tersebut juga, KEMITRAAN akan melakukan studi pengembangan IGI dan CCGA kembali. Pengembangan studi ini nantinya akan dipertajam indikator-indikator dalam mitigasi dan adaptasi, sekaligus menghighlight sektor pangan dan gender, atau dinamakan IGI-Climate Resilience. Harapannya hasil studi tersebut dapat mendukung pemerintah dalam menyediakan data yang komprehensif dalam memetakan kesiapan ketahanan iklim serta sensitivitas gender secara keseluruhan di tingkat sub-nasional, terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.
Sebagai bagian dari peningkatan kapasitas lembaga, IDRC juga mendukung KEMITRAAN dalam meningkatkan kapasitas organisasinya baik secara kelembagaan (sebagai bagian dari proses transparansi dan akuntabilitas publik), kapasitas tim riset, pengetahuan perubahan iklim, gender, serta kegiatan-kegiatan lainnya. Dukungan tersebut dilakukan agar tidak hanya membuat hasil penelitiannya semakin komprehensif untuk menjadikan KEMITRAAN sebagai lembaga Think Tank terdepan.
Program ini didukung oleh:
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.