Pekalongan, 15 Juli 2021 – Pantai Utara Jawa menjadi salah satu wilayah yang telah berulang kali terpengaruh oleh dampak perubahan iklim. Permukaan laut di wilayah ini meningkat antara 6-10 mm/tahun . Meskipun proyeksi kenaikan permukaan laut (SLR) di wilayah ini bukan yang tertinggi di Indonesia, namun kepadatan penduduk yang tinggi dan perkembangan kota yang pesat telah menempatkan Pantai Utara Jawa sebagai wilayah yang sangat rentan terhadap bencana dan dampak perubahan iklim. Sebagai koridor utama dan tersibuk bagi pergerakan manusia dan logistik di Jawa, wilayah ini dihadapkan pada berbagai persoalan terkait topografisnya, yaitu banjir bah (banjir yang terjadi saat musim hujan), banjir rob (naiknya permukaan air laut), dan penurunan struktur tanah.
Kota Pekalongan merupakan salah satu kota yang berada pada pesisir dan mengalami banjir rob hampir setiap tahunnya. Ini terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir, yaitu tahun 2012, 2014, 2015, 2016 dan 2017. Data Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kota Pekalongan menunjukkan kondisi lapisan tanah di pesisir Pekalongan telah mencapai minus 30-50 cm di bawah permukaan air laut. Akibatnya peluang terjadinya banjir akan sering terjadi. Pengaruh penurunan muka tanah juga menjadi faktor paling tinggi dibandingkan dengan kenaikan muka air laut terhadap perubahan luas genangan banjir rob.
Dampak banjir pesisir tidak hanya memengaruhi sektor terkait pesisir seperti perikanan dan pariwisata, tetapi juga dapat menciptakan efek domino pada sektor-sektor pembangunan lainnya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Pekalongan untuk mengatasi masalah tersebut; baik dilakukan secara swadaya maupun dengan bantuan pihak ketiga.
Secara swadaya, Pemerintah Kota Pekalongan telah mengembangkan rencana evakuasi tahunan untuk tujuan memobilisasi masyarakat saat banjir. Mereka juga telah melaksanakan upaya-upaya jangka pendek dengan memberikan bantuan ekonomi berupa bibit ikan dan jaring ikan, serta bantuan fisik seperti peninggian tanggul di kawasan tanggul. Masyarakat lokal juga telah menerapkan upaya-upaya adaptif sukarela, meskipun sederhana karena keterbatasan ekonomi. Misalnya, menaikkan tingkatan lantai, mengubah mata pencaharian, pembersihan sungai dan lain-lain. Namun langkah-langkah ini dilakukan secara sebagian, tanpa perencanaan yang menyeluruh yang dapat menghubungkan akar penyebab masalah dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Sehingga hasilnya menjadi sedikit tidak efektif, terutama ketika mempertimbangkan perspektif jangka panjang.
KEMITRAAN berupaya untuk turut serta dalam menanggulangi permasalahan ini melalui kerjasama dengan Pemerintah Kota Pekalongan untuk membangun kapasitas para pemangku kepentingan dan mengadvokasi kebijakan ketahanan iklim. Melalui skema pendanaan Adaptation Fund (AF), KEMITRAAN melaksanakan program berjudul Pendekatan 3S (safekeeping – surviving – sustaining) Untuk Membangun Ketahanan Kota Pesisir terhadap Dampak Perubahan Iklim dan Bencana Alam di Kota Pekalongan.
Pendekatan 3S merupakan pendekatan untuk perlindungan (safekeeping), peningkatan ketahanan (surviving), dan (sustaining) memelihara kondisi sosial ekonomi masyarakat Kota Pekalongan yang terdampak langsung oleh perubahan iklim agar tetap kondusif dan berkelanjutan. Program ini akan berjalan selama tiga tahun k edepan. Acara peluncuran program yang dilakukan secara daring pada tanggal 15 Juli 2021 ini, turut melibatkan para pemangku kepentingan di Kota Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta peneliti yang merupakan akademisi dari beberapa universitas, antara lain UNDIP (Universitas Diponegoro), ITB (Institut Teknologi Bandung) dan IPB (Institut Pertanian Bogor).
“Program ini akan dimulai dengan memetakan kembali kondisi lapangan terkini dan mengidentifikasi akar permasalahan yang dapat diintervensi dengan proyek Adaptation Fund yang dikelola oleh KEMITRAAN agar melengkapi program-program yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Pusat. Kami sangat mengapresiasi Pemerintah Kota Pekalongan, Pemprov Jawa Tengah, dan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) yang telah mengarahkan dan memfasilitasi implementasi proyek ini dan berharap akan meningkatkan ketahanan iklim (climate resilience) Kota Pekalongan agar terhindar dari bahaya banjir rob tahunan dan penurunan permukaan tanah yang sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu proyek Adaptation Fund ini akan mengkhususkan diri pada intervensi yang menggunakan ‘natural solutions,’ seperti penanaman mangrove dan solusi lingkungan lain yang diharapkan dapat meredam rob dan banjir tahunan,” ungkap Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN saat peluncuran kegiatan.
Adaptation Fund (AF) merupakan salah satu sumber pendanaan iklim non-APBN yang dapat membantu mengatasi permasalahan dampak perubahan iklim di Kota Pekalongan. Menurut Ketua DPRD Kota Pekalongan, Mohamad Azmi Basyir, program ini harus dimaksimalkan dari sisi perencanaan maupun pelaksanaan.“Harapan saya, adanya perencanaan yang matang dapat menjadi sebuah milestone untuk semua dalam meningkatkan sinergi dan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah, lembaga terkait, dan seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan solusi ketahanan iklim yang berkelanjutan di Pekalongan,” jelasnya.
Direktorat Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian KLHK, Sri Tantri Arundhati, menambahkan, dilihat dari segi regulasi, Indonesia telah memasukkan adaptasi dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Roadmap NDC (Nationaly Determined Contribution) Adaptasi sedang disusun untuk memberikan arahan terhadap pencapaian NDC adaptasi pada tahun 2030. Panduan dan perangkat juga telah disiapkan dalam rangka implementasi adaptasi perubahan iklim di tingkat tapak. Dari diskusi hari ini, saya berharap ini bisa menjadi pemantik bagaimana perencanaan adaptasi bisa lebih baik lagi agar dampak negatif dari perubahan iklim dapat dikurangi sehingga kelangsungan hidup masyarakat di sekitar pesisir sejahtera kembali,” ungkap Sri Tantri Arundhati yang menjabat sebagai Direktur Adaptasi Perubahan Iklim.
Pada kesempatan yang sama, Afzan Arslan Djunaid, Walikota Pekalongan menyampaikan kondisi yang dialami masyarakat Kota Pekalongan selama lima tahun terakhir. Menurutnya, Pekalongan merupakan kota kecil dengan permasalahan yang kompleks, seperti banjir rob, sampah, limbah, hingga pendangkalan sungai yang sampai saat ini masih belum terselesaikan.
“Kami sudah lima tahun merasakan dampak perubahan iklim. Banjir rob sering melanda, ditambah lagi sekarang banjir bah karena curah hujan tinggi dan penurunan permukaan tanah di Pekalongan semakin parah. Kami tentunya tidak bisa menyelesaikan sendiri. Syukurlah sudah ada bantuan dari KEMITRAAN lewat proyek AF. Semoga ini bisa meringankan beban masyarakat Pekalongan yang rumahnya sering tergenang,” jelasnya.
Di bagian akhir, Afzan berharap satu persatu masalah di Pekalongan bisa terurai. Tentunya dengan melibatkan komitmen berbagai pihak. Hal ini bisa dimulai dengan mengubah pola hidup masyarakat dengan mulai memilah sampah rumah tangga. “Mari kita bangkit dan mulai bangun Pekalongan yang lebih baik lagi!” ujarnya.
Harapan ke depan, pendekatan 3S dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam upaya Kota Pekalongan untuk mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim, dan yang lebih penting lagi meningkatkan ketahanan masyarakat di wilayah pesisir.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.