Dalam pidato kenegaraan menyambut hari Kemerdekaan ke-77 tahun, Presiden Jokowi menyebut berbagai pencapaian Indonesia di tengah krisis global. Seperti, menjadi negara peringkat kelima dengan cakupan vaksin COVID-19 terbanyak di dunia. Kemudian angka inflasi hanya 4,9 persen, jauh lebih rendah di bawah rata-rata ASEAN dan bahkan dunia.
Capaian tersebut pantas disyukuri dan dinikmati pada hari kemerdekaan. Namun demikian kita juga tidak dapat memungkiri masih adanya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama, salah satunya krisis iklim yang semakin nyata melanda Indonesia. Dampaknya kian nyata, misalnya di sepanjang wilayah pantai utara pulau Jawa yang diserang banjir rob dan intrusi air laut. Naiknya permukaan air laut juga mengancam keberadaan kurang lebih 17.000 pulau di negara kita.
Tantangan untuk mengisi kemerdekaan Indonesia selanjutnya adalah memastikan setiap warga negara mendapatkan haknya. Penghargaan atas pakaian masyarakat adat belum cukup bagi masyarakat adat karena mereka belum sepenuhnya merdeka atas ruang hidup dan ekspresi budaya mereka, bahkan salah satu kepastian aturan (RUU Masyarakat Adat) tidak kunjung disahkan sejak pertama kali dicetuskan pada tahun 2009.
Seringkali, masyarakat adat justru dianggap sebagai beban pembangunan. Padahal keberadaan mereka turut serta menjaga kelestarian Sumber Daya Alam (SDA) dan keanekaragaman hayati. Ini merupakan modal sosial yang besar bagi Indonesia dalam pemenuhan target Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030, guna mencegah krisis iklim.
Dalam pengelolaan SDA, masyarakat adat juga cenderung tidak memiliki hak yang sama. Baru ada satu dua komunitas adat yang memiliki legalitas hukum atas kelola hutan adatnya, jumlahnya sangat tidak sebanding dengan total komunitas adat yang ada di Indonesia. Ironis, mengingat hutan telah mereka kelola jauh sebelum republik ini berdiri.
Praktik bad governance dalam kelola hutan juga telah menciptakan diskriminasi terhadap warga negara, lihat saja proporsi izin yang diberikan kepada korporasi jauh lebih banyak dibanding dengan masyarakat sekitar hutan. Namun demikian, saat ini sudah banyak dilakukan pembenahan, salah satunya melalui program Perhutanan Sosial (PS) yang dirancang untuk memastikan seluruh warga yang hidup disekitar hutan turut serta menjaga serta mengelola hutan untuk kesejahteran. Kedepan, program PS perlu mempercepat target pemberian izin kelola hutan seluas 12,7 juta hektar (saat ini baru sekitar 4,9 juta) kepada masyarakat.
Pada sisi lain, pengelolaan industri berbasis SDA seperti pertambangan, perkebunan, dan kehutanan justru jadi salah satu sektor yang sarat dengan potensi korupsi. Modusnya beragam, dari mulai suap dan ucapan terima kasih (gratifikasi) dalam proses pengurusan izin alih fungsi lahan, pengemplangan pajak hingga tindak pencucian uang (money laundering). Indonesia yang kaya akan SDA berpotensi menjadi korban keserakahan manusianya. Apakah harus menunggu bumi tidak lagi dapat ditinggali, baru manusia sepenuhnya menghentikan tindakan koruptif dan kerusakan yang mereka ciptakan?
Pada akhirnya, hari kemerdekaan perlu dimaknai tidak hanya sebagai momentum untuk bersuka cita, melainkan juga merefleksikan kembali apa tujuan dari para pendiri menciptakan Republik Indonesia, salah satunya jelas tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Dengan semangat gotong royong dan pelibatan berbagai pihak di negeri ini, cita-cita bangsa akan segera terwujud.
Salam Perjuangan,
Laode M. Syarif
Artikel ini telah dimuat di Kabar KEMITRAAN edisi September 2022.
Berlangganan newsletter KEMITRAAN melalui tautan ini.