Jakarta, 6 Oktober 2022 – KEMITRAAN Partnership for Governance Reform mengusulkan empat langkah untuk mereformasi peradilan di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Laode M Syarif (Direktur Eksekutif KEMITRAAN) dan Rifqi Sjarief Assegaf(Program Director Justice, Democratic Governance and Regionalization) yang turut berpartisipasi dalam diskusi bersama para pakar, akademisi, masyarakat sipil, lembaga negara, hingga pemerintah yang diselenggarakan oleh Kemenko Polhukam (4/10). Diskusi yang dipimpin oleh Menko Polhukam, Mahfud MD, ini merupakan bagian dari respon atas permintaan Presiden Jokowi, pasca penetapan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Meskipun merupakan ranah yudikatif, Laode menyebut pemerintah (dalam hal ini eksekutif) tetap dapat menjadi motor reformasi peradilan sebagai bagian dari menjalankan fungsi pemerintah sebagai pengambil keputusan dalam menentukan pejabat pemerintahan, pembentuk aturan dan pengatur anggaran. Laode mengakui bahwa reformasi hukum di bidang peradilan merupakan permasalahan yang kompleks. “Oleh karena itu Kemenkopolhukam perlu mengawal proses penyusunan agenda reformasi dan pelaksanaannya. Termasuk membentuk tim khusus yang dipimpin oleh Menko Polhukam yang beranggotakan perwakilan pimpinan kementerian/lembaga dan perwakilan masyarakat,” ungkap Laode.
Berikut empat isu prioritas untuk reformasi peradilan rekomendasi KEMITRAAN:
1. Memperkuat integritas Hakim, Hakim Agung dan Pejabat Pengadilan
Pelibatan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sebelum presiden mengangkat pejabat eselon I di pengadilan untuk memeriksa kewajaran kekayaan dan transaksi keuangan yang bersangkutan. Hal ini juga perlu dilakukan saat MA melakukan melakukan promosi eselon II dan ketua pengadilan strategis. Peran KY (Komisi Yudisial) untuk mendukung hal ini pun diperlukan. Karenanya perlu dilakukan pula upaya penguatan KY.
2. Penguatan jaminan anggaran, jabatan dan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan
Salah satu faktor yang mempengaruhi independensi dan imparsialitas hakim dan pengadilan adalah belum optimalnya jaminan anggaran pengadilan, status jabatan hakim (yang masih Aparatur Sipil Negara-ASN), dan ketergantungan pengadilan pada Polri dalam pengamanan sidang dan hakim. Hal ini mengakibatkan pengadilan rentan diintervensi DPR, dan pemerintah (termasuk Polri).
Pemerintah seharusnya mendorong jaminan keamanan dan status hakim terpisah dari ASN dalam RUU Jabatan Hakim. Selain itu pemerintah juga harus mendukung kecukupan anggaran MA, termasuk saat pembahasan di DPR. Kemudian pemerintah turut memfasilitasi pengaturan dukungan Polri terhadap pengadilan, baik untuk pengamanan sidang, pengamanan hakim (jika diperlukan) serta dukungan pelaksanaan fungsi lain, misalnya untuk eksekusi putusan.
3. Penguatan aturan untuk meminimalisir penyalahgunaan wewenang
Masih banyak kekosongan hukum atau ketidakjelasan aturan hukum yang memperbesar diskresi hakim (dan aparat penegak hukum lain) dalam menafsirkan hukum. Penyebabnya, pemerintah tidak optimal dalam menjalankan fungsi pembentukan hukum. Misal untuk memetakan kebutuhan aturan, termasuk evaluasi pelaksanaan aturan yang ada, agar direspon dengan penguatan aturan.
Hal ini dapat diatasi dengan Pemerintah memperkuat peran Kemenkumham (misal Badan Pembinaan Hukum Nasional) untuk melakukan identifikasi rutin kebutuhan perbaikan aturan (termasuk melalui evaluasi pelaksanaan aturan) serta melakukan amandemen atau pembuatan aturan baru untuk merespon kebutuhan yang ada, khususnya di bidang perdata dan pidana.
4. Penguatan dukungan IT (Informasi dan Teknologi) dalam Manajemen Perkara.
Sebagian manajemen perkara di MA dan pengadilan bawah masih manual dan membutuhkan banyak SDM (Sumber Daya Manusia), sehingga menyulitkan pengawasan serta membuka luas diskresi. Misal, penetapan majelis hakim secara manual memudahkan para pihak ‘memesan’ majelis hakim. Ketiadaan sistem IT untuk memantau secara otomatis lamanya proses kerja mulai perkara didaftarkan sampai dengan dikembalikan ke pengadilan asal, mempermudah oknum pegawai menghambat proses penyelesaian perkara. Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan dukungan anggaran untuk menguatkan sistem IT selama ada rencana kerja yang jelas dalam mendukung transparansi dan akuntabilitas
Empat poin usulan reformasi tersebut menurut Rifqi Sjarief Assegaf, juga penting untuk dijalankan oleh aparat penegak hukum yang ada di bawah eksekutif.
“Khususnya Polri dan Kejaksaan, serta kementerian Hukum dan HAM. Reformasi akan sia-sia jika hanya dilakukan di tubuh Mahkamah Agung tanpa pembenahan di instansi-instansi lain yang terkait,” ujar Rifqi.
Kemenkopolhukam akan kembali melakukan pertemuan lanjutan dengan para pakar terkait untuk merumuskan lebih detail proses reformasi hukum di bidang peradilan. Menko Polhukam juga meminta KEMITRAAN untuk membantu memfasilitasi proses tersebut.
KEMITRAAN mengapresiasi langkah-langkah pemerintah yang berupaya mereformasi hukum di bidang peradilan. “Ini merupakan komitmen penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Sebagai organisasi masyarakat yang fokus pada pembenahan tata kelola, KEMITRAAN siap mengawal pemerintah melaksanakan reformasi hukum untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ungkap Laode.
Kerjasama antara KEMITRAAN dan Kemenkopolhukam juga telah diresmikan sejak November 2021 lalu melalui penandatanganan nota kesepahaman untuk penguatan tata kelola pemerintahan di bidang hukum, politik dan keamanan.
Selengkapnya gagasan reformasi di bidang peradilan yang disusun KEMITRAAN dapat dilihat di tautan ini.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.