Kemitraan, KKI WARSI, dan Pundi Sumatera, bersama dengan Komnas HAM RI, menyelenggarakan forum dialog multistakeholder yang menghadirkan berbagai pemangku kepentingan untuk membahas hak-hak masyarakat adat.
Selama dua hari, 20-21 Agustus 2024, forum ini menjadi ruang penting untuk mendengarkan suara masyarakat adat. Sekaligus tempat pertukaran gagasan antara komunitas, pemerintah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.
“Orang Rimba yang tinggal di dalam hutan berusaha mempertahankan wilayah adat mereka meskipun tidak memiliki dokumen atau surat resmi, namun mereka tetap memegang teguh hukum adat. Masalah utama adalah kurangnya pengakuan terhadap hak-hak mereka. Pemerintah belum memenuhi hak-hak Suku Anak Dalam (SAD) secara adil, termasuk tidak memberikan Surat Keputusan (SK) pengakuan resmi terhadap SAD,” ujar Temenggung Pangelo, masyarakat SAD Merangin.
Diskusi ini memberikan masukan bagi penyusunan Standar dan Norma Pengaturan tentang Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat yang tengah diupayakan oleh Komnas HAM RI. Pada hari pertama diskusi diawali dengan kehadiran berbagai komunitas adat dari Provinsi Jambi. Termasuk Suku Anak Dalam, Talang Mamak, Batin Sembilan, dan Serampas. Partisipasi dari komunitas-komunitas ini mencerminkan betapa beragamnya tantangan yang mereka hadapi. Meskipun setiap komunitas memiliki keunikan tersendiri, mereka semua berbagi kebutuhan yang sama. Yaitu pengakuan eksistensi dan perlindungan hak-hak mereka dalam kerangka hukum yang jelas.
“Masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal yang penting untuk dilindungi, termasuk ciri khas mata pencarian seperti berburu, meramu, dan mengambil hasil hutan, serta pakaian adat yang merupakan bagian integral dari identitas mereka. Namun, mereka menghadapi berbagai masalah signifikan. Perlakuan di unit kesehatan atau rumah sakit tingkat kabupaten sering tidak memadai, disertai dengan diskriminasi. Di bidang pendidikan, ketidakadilan dalam akses ke seragam dan peralatan sekolah menyebabkan perundungan di kalangan anak-anak adat,” ujar Kania Rahma Nureda yang menjadi moderator diskusi.
Pada sesi kedua di hari pertama, perwakilan organisasi masyarakat sipil turut hadir. Memperkaya diskusi dengan perspektif yang lebih luas tentang dinamika sosial dan politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat adat di Jambi. Kolaborasi ini menunjukkan betapa pentingnya pendekatan holistik dalam menangani isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat adat.
Memasuki hari kedua, diskusi semakin intensif dengan kehadiran dinas dan lembaga pemerintah daerah, baik dari tingkat provinsi maupun kabupaten di Jambi. Kehadiran mereka menciptakan peluang penting untuk saling memahami perspektif, terutama dalam hal pembuatan kebijakan dan kendala yang dihadapi di lapangan. Sesi ini menjadi jembatan antara komunitas adat dan pembuat kebijakan, memastikan bahwa suara masyarakat adat didengar dalam proses pengambilan keputusan.
Sesi terakhir diskusi melibatkan akademisi dari berbagai universitas di Provinsi Jambi, yang membawa dimensi ilmiah dan analitis ke dalam pembahasan. Kontribusi mereka diharapkan dapat memperkuat dasar akademis untuk perlindungan hak-hak masyarakat adat, sehingga argumen yang dibangun memiliki landasan yang kokoh.
Selama dua hari diskusi, berbagai isu krusial terungkap, salah satunya adalah ancaman terhadap tanah adat akibat ekspansi industri ekstraktif. Banyak komunitas adat yang terjepit di tengah perkebunan atau area pertambangan. Situasi yang tidak hanya mengancam wilayah tradisional tetapi juga gaya hidup dan identitas budaya mereka.
Tingginya tingkat konflik yang dihadapi masyarakat adat juga menjadi sorotan utama. Para peserta berharap KOMNAS HAM dapat lebih aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka yang tengah berada di tengah konflik ini. Menunjukkan urgensi peran lembaga HAM nasional dalam resolusi konflik dan perlindungan hak masyarakat adat.
Di sisi lain, beberapa komunitas berbagi cerita tentang keberhasilan mereka dalam memperjuangkan akses pendidikan bagi anak-anak mereka. Dari mendirikan sekolah dasar hingga meraih gelar sarjana, cerita-cerita ini menggambarkan ketahanan dan kreativitas masyarakat adat dalam menghadapi berbagai tantangan. Pencapaian lain yang disoroti adalah pengakuan administratif. Di mana beberapa komunitas berhasil memperoleh kartu identitas dan dokumen legal lainnya, yang membuka akses mereka ke berbagai layanan publik.
Gagasan penting lainnya adalah kebutuhan untuk memasukkan perlindungan masyarakat adat sebagai pejuang hak asasi manusia dalam standar dan norma yang sedang disusun. Pengakuan ini tidak hanya akan memberikan legitimasi lebih pada peran mereka, tetapi juga memperkuat posisi mereka dalam menghadapi berbagai bentuk intimidasi atau kriminalisasi.
Forum diskusi di Jambi ini menjadi momen krusial di mana berbagai perspektif bertemu untuk membentuk pemahaman yang lebih komprehensif tentang isu masyarakat adat. Kehadiran Komnas HAM RI memastikan bahwa standar dan norma yang akan disusun benar-benar mencerminkan realitas di lapangan dan kebutuhan semua pihak.
Para peserta berharap bahwa standar dan norma yang dihasilkan nantinya bukan sekadar dokumen administratif. Melainkan kompas yang akan mengarahkan kebijakan dan tindakan berbagai pemangku kepentingan dalam menangani isu-isu kompleks terkait hak masyarakat adat.
Meskipun standar dan norma ini pasti akan menghadapi tantangan dalam mengakomodasi keragaman konteks dan kebutuhan, forum ini merupakan langkah penting dalam memastikan bahwa setiap nuansa dan kompleksitas terakomodasi. Pada akhirnya, upaya membangun jembatan melalui standar dan norma ini bukan hanya tentang mengakui dan melindungi warisan masa lalu. Tetapi juga membuka jalan menuju masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
“Menurut kami, Masyarakat Adat adalah penjaga utama Pancasila. Jika kita kehilangan MA, maka salah satu pondasi penting penjaga Pancasila juga bisa hilang. Atas dasar ini, kami berpikir penting untuk menghadirkan satu peraturan yang dapat mendampingi MA, sambil menunggu adanya UU tentang MA yang sudah dibahas di DPR selama 15 tahun terakhir,” ujar Saurlin P. Siagian, Komisioner Komnas HAM RI.
Dengan panduan yang jelas dan pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai pejuang HAM, ada keyakinan bahwa suatu hari nanti, hutan akan tetap lestari, tradisi akan tetap hidup, dan mereka akan mendapatkan tempat yang layak dalam narasi pembangunan nasional.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.