18 Aug 2022
Dok. Kemitraan
Bulukumba, (10/8/2022). Banjir bandang yang melanda Kota Seoul di Korea Selatan harus menjadi pembelajaran bagi Bulukumba. Hal ini disampaikan oleh Bapak H. Andi Muchtar Ali Yusuf, Bupati Kabupaten Bulukumba pada sambutannya di acara Perkembangan Program Adaptasi Perubahan Iklim Melalui Tata Kelola Daserah Aliran Sungai (DAS) Terpadu yang Berkelanjutan Pada Wilayah Hukum Adat Kajang di Bulukumba.
Banjir di Seoul diakibatkan oleh curah hujan tertinggi selama 80 tahun terakhir. Menurut analis beliau yang pernah mengunjungi Seoul, debit air yang dihasilkan dari curah hujan yang tinggi tidak dapat diserap oleh wilayah di sekitarnya.
“Saya bayangkan, pemerintahnya memiliki perhatian terhadap tata kelola Kota Seoul, tapi tidak memperhatikan daerah serapan di hulu, untuk menjaga bagaimana pada saat curah hujan tinggi mampu menjaga kota dari banjir,” jelasnya.
Sebagai wilayah hulu, Bulukumba perlu menjaga wilayahnya dari kerusakan hutan, membagi daerahnya untuk wilayah pertanian dan daerah serapan air.
“Berapa persen tanaman jangka panjang di wilayah ketinggian dan berapa persen untuk pertanian, sehingga serapan air betul-betul terjaga,” terangnya.
Selain wilayah hulu, Bulukumba juga memiliki tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) besar, diantaranya Apparang, Raowa, Baonto. Keberadaan sepadan sungai penting untuk dioptimalkan sebagai bagian dari penyerapan air pada satu sisi, dan nilai ekonomi pada sisi lain.
Untuk itu pihaknya akan menyusun regulasi agar sepadan sungai berfungsi secara optimal sebagai resapan air. “Pemda akan mendorong seluruh desa di sepanjang DAS untuk mengalokasikan anggaran dana desa untuk membuat sumur resapan. Sementara untuk kegiatan ekonomi, Pemda berharap program ini semakin memperkuat desa dalam memunculkan kegiatan yang memiliki nilai ekonomi bagi warga,” tegasnya.
“Berbeda dengan sungai Aare di Swiss yang sekitarnya adalah bebatuan, di Indonesia, termasuk Bulukumba, hampir semua sepadan sungai sangat berpotensi menjadi sumber penghidupan dan penanaman pohon yang serapan airnya tinggi,” sebutnya.
“Ketika DAS dibuatkan ruang untuk penyerapan air dan sekaligus sumber pendapatan ekonomi, maka wilayah itu akan dijaga, dipelihara dan tidak akan mereka rusak,” tutupnya.
Sementara itu Ardhi dari konsorsium Payo-payo dan Oase, dalam paparannya menyebut program yang dilakukan bersama KEMITRAAN atas dukungan dari Adaptation Fund melakukan intervensi program di 14 desa sepanjang DAS agar warganya memiliki ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Terdapat sekitar 1.737 orang penerima manfaat, terdiri dari perempuan sebanyak 491 dan laki-laki 1.246.
Salah satu kegiatan adalah memperkuat kelompok perempuan. “Telah terbentuk Perempuan Tangguh Iklim (Peti), dengan kegiatan-kegiatan yang relevan untuk ketahanan terhadap perubahan yang terjadi akibat iklim. Misalnya pemanfaatan pekarangan untuk penanaman sayur, pembuatan pupuk organik dan lain-lain, ucapnya.”
Di level Kabupaten, Ardhi menyebut kegiatan juga fokus melakukan perubahan kebijakan di level pemerintah daerah. “Pembentukan forum, dan pembentukan dokumen di tiga DAS intervensi. Kemudian juga menyusun RAD-API (Rencana Aksi Daerah-Adaptasi Perubahan Iklim).
KEMITRAAN melalui Program Manager AF, Abimanyu Sasongko Aji menyebut program di Bulukumba merupakan implementasi dari dukungan pemerintah pusat terhadap daerah dalam penanganan isu perubahan iklim.
“Program ini merupakan program pemerintah untuk mendukung penanganan isu perubahan iklim, khususnya adaptasi. Bukan semata-mata program dari KEMITRAAN dan Payo-payo, oleh karenanya pada implementasinya melibatkan pemerintah daerah” jelasnya.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.