Meski hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat telah dijamin undang-undang, masih banyak warga di berbagai wilayah di tanah air yang mesti berjuang keras mendapatkannya. Seringkali, warga bersama para pembela HAM di daerah yang berjuang selama bertahun-tahun harus menghadapi intimidasi, ancaman kriminalisasi dan kekerasan. Perjuangan itu pun, sayangnya, banyak yang belum berhasil. Untuk memperkuat kapasitas para pembela hak asasi manusia (HAM) dari komunitas akar rumput dan kelompoknya dalam menghadapi tantangan-tantangan itu, KEMITRAAN berkolaborasi dengan Indonesian Society for Social Transformation (INSIST) menyelenggarakan Sekolah Singkat HAM dan Lingkungan Hidup.
“Sekolah Singkat ini juga untuk merefleksikan progres advokasi dan aksi yang selama ini telah dilakukan para pembela HAM, apakah sudah sesuai tujuan, apakah strategi dan taktiknya sudah tepat,” kata Ririn Sefsani, Team Leader di Kemitraan untuk Program Perlindungan Pembela HAM sektor Lingkungan untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.
Ririn mengungkapkan, kegiatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan para pembela HAM dalam melakukan adovokasi dan pengorganisasian. “Mereka pun akan belajar memetakan aktor yang bisa diajak berkoalisi, peluang, dan hambatan yang mungkin akan dihadapi,” tambahnya.
Sekolah ini berbeda dari pelatihan biasa. Pada awal kegiatan, peserta tidak langsung diberi berbagai teori tentang HAM dan advokasi. Mereka terlebih dulu diminta untuk menceritakan diri dan kasus yang dihadapi secara rinci, termasuk strategi yang telah diterapkan, tujuan aksi dan advokasi. Mereka juga didorong untuk merefleksikan perjuangannya itu. Kemudian, mereka diajak untuk mendalami konsep dan perspektif HAM yang relevan dengan kasus mereka, mempelajari strategi advokasi, mengolah data yang dimiliki, serta belajar membangun opini dan cara menggalang dukungan publik.
“Jadi Sekolah Singkat ini membantu peserta mengontekskan teori yang mereka pelajari kedalam perlawanan yang mereka hadapi sehingga lebih berguna dan dapat mereka terapkan saat kembali ke komunitas,” ucap Ririn.
Sekolah Singkat HAM dan Lingkungan Hidup dilaksanakan pada 5-14 Februari 2021 dan diikuti oleh 16 peserta yang berasal dari tujuh provinsi, yaitu: Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah. Para peserta yang merupakan pembela HAM di akar rumput diajak bergabung di dalam Sekolah ini karena aktif melakukan advokasi bersama mitra lokal KEMITRAAN. Mereka tengah berjuang mempertahankan lingkungan, dan sumber penghidupannya dari kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi di sekitar mereka.
Cherly Tatia, dari Desa Paputungan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara mengatakan bahwa keterlibatannya di dalam Sekolah Singkat ini merupakan pengalaman baru. Dia belum pernah ikut serta di dalam pelatihan terkait HAM. Padahal, sudah sekitar enam tahun dia bersama komunitasnya di tiga desa – Paputungan, Jayakarta, dan Tanah Putih – berjuang mempertahankan hak mereka atas lahan yang menjadi sumber kehidupan dari perampasan oleh perusahaan yang akan membangun wilayah wisata di daerahnya.
“Ini adalah pengalaman baru, bertemu dengan kawan-kawan yang sama-sama sedang berjuang. Semoga apa yang saya pelajari bisa membantu perjuangan kami,” katanya.
M. Syukrie, pembela HAM asal Desa Jerambah Rengas, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, merasakan antusiasme yang sama. Dia menuturkan, pengalamannya kali ini menarik dan berbeda dari pelatihan yang biasa dia ikuti. “Cara belajarnya tidak seperti kami dikasih ikan, melainkan umpan. Kami diajak dan dipandu untuk berpikir lebih kritis, menggunakan strategi yang pas dengan kebutuhan kita,” ujar Syukrie.
Dia mengatakan, keterlibatannya di dalam Sekolah Singkat ini penting. Proses belajar di Sekolah Singkat HAM dan lingkungan telah memperdalam pemahamannya soal HAM, termasuk hak-hak warga saat berhadapan dengan perusahaan serta hak untuk bersuara dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Dia berkomitmen untuk menggunakan ilmu barunya untuk memperkuat komunitas di desanya dalam menolak keberadaan perusahaan kelapa sawit yang mengancam sumber ekonomi dan ketahanan pangan warga selama lima tahun terakhir.
Pada akhir Sekolah, Syukrie, Cherly, dan 14 pembela HAM di sektor lingkungan lainnya akan menyusun rencana tindak lanjut advokasi. KEMITRAAN berharap, rencana aksi yang dihasilkan dapat diterapkan oleh komunitas. Dengan begitu, penguatan kapasitas para pembela HAM lewat Sekolah Singkat ini mampu menciptakan dorongan yang lebih kuat kepada negara agar menunaikan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warga. (ER)
DISCLAIMER
Sekolah Singkat HAM dan Lingkungan Hidup dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Para peserta, penyelenggara, dan fasilitator kegiatan senantiasa menerapkan 3M (menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan secara berkala). Kegiatan ini juga dilaksanakan di ruangan semi-outdoor dengan ventilasi dan pencahayaan yang baik. Seluruh pihak yang terlibat juga telah menjalani tes swab antigen dengan hasil negatif sebelum berangkat dari daerah asal. Pada hari ke-5 kegiatan, Kemitraan juga memfasilitasi tes swab antigen untuk memastikan keamanan dan kesehatan semua pihak.
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.