Sistem peradilan pidana adalah elemen utama untuk perlindungan hak asasi manusia. Hal ini karena peradilan pidana yang berkerja baik akan memastikan perlindungan hukum bagi masyarakat, khususnya pihak-pihak yang terkait proses peradilan pidana, serta memastikan pula adanya mekanisme bagi negara (yang diwakili oleh lembaga penegak hukum, pengadilan dan lembaga pendukung seperti lembaga pemasyarakatan) untuk menegakan hukum secara independen, tidak memihak dan profesional.
Sayangnya, berbagai data dan penelitian menunjukkan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia masih mengalami sejumlah masalah serius, antara lain: institusi dan aparat penegak hukum dan pengadilan yang belum sepenuhnya kompeten, independen dan melindungi HAM; praktik korupsi dalam penanganan perkara masih menjadi sorotan publik; koordinasi antar lembaga penegak hukum yang belum efektif; serta proses peradilan pidana yang belum efisien dan tanggap terhadap hak terdakwa, serta kebutuhan korban dan masyarakat.
Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain terjadi karena lemahnya kerangka hukum, khususnya dalam hukum acara pidana, dan mekanisme operasional dari lembaga penegak hukum serta problem di tingkat kelembagaan pada lembaga-lembaga peradilan dan lembaga pendukung terkait. Faktor lain, seperti budaya hukum, khususnya di lembaga penegak hukum dan pengadilan juga memberi kontribusi masalah di atas.
Di tingkat kerangka hukum misalnya, banyak aspek yang menjadi sorotan ahli terkait kelemahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, penegakan hukum terkesan berjalan sendiri-sendiri. Proses peradilan pidana juga belum efisien, serta tidak tanggap terhadap kebutuhan korban dan masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah karena KUHAP tidak memberikan keleluasaan yang cukup bagi hakim untuk menyederhanakan proses peradilan. Mekanisme keadilan restoratif yang bertujuan untuk memperbaiki kerugian akibat kejahatan terhadap korban dan masyarakat dan mendorong semua pihak, khususnya pelaku untuk bertanggung jawab atas kejahatannya, juga tidak diakui secara formal di dalam KUHAP atau Undang-undang lainnya. Sementara, pada aspek kelembagaan masih banyak isu-isu mendasar yang belum mendapatkan tempat serius dalam rencana penguatan sistem peradilan pidana.
Permasalahan-permasalahan di atas tidak jarang dicoba untuk diselesaikan melalui pendekatan yang parsial, antara lain dengan mengajukan permohonan uji materil berbagai UU terkait proses peradilan pidana yang dianggap bermasalah atau dengan membuat peraturan internal untuk mengisi kekosongan hukum atau ketidakjelasan dalam aturan yang ada. Meskipun upaya ini patut diapresiasi, namun terobosan-terobosan tersebut rentan menimbulkan masalah lain, antara lain ketidaksingkronan antar pedoman atau peraturan.
Memahami kondisi tersebut di atas, KEMITRAAN melalui proyek RECREATE (Reforming the Criminal Justice System to Advance the Rule of Law in Indonesia) yang didukung oleh UNODC Indonesia mengadakan penulisan essay tematik untuk mahasiswa hukum sebagai bagian dari upaya untuk merekomendasikan penguatan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Penulisan essay tematik mahasiswa Fakultas Hukum bertujuan untuk: (1) menggugah kesadaran mahasiswa hukum sebagai insan cendekia untuk turut peduli terhadap permasalahan yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana di Indonesia; dan (2) mendorong mahasiswa hukum sebagai insan cendekia untuk berkontribusi secara pemikiran dalam merumuskan usulan pembaruan sistem peradilan pidana Indonesia.
Terdapat tujuh essay dalam kegiatan yang berlangsung sejak minggu keempat Mei 2023 hingga minggu keempat Agustus 2023. Ketujuh essay tersebut ditulis oleh mahasiswa/i Fakultas Hukum di berbagai Universitas di Indonesia dan seluruhnya terkait dengan Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Akhir kata, semoga keberadaan essay ini tidak hanya meningkatkan kemampuan meneliti dan menulis para mahasiswa/i, tetapi juga meningkatkan kemampuan advokasi mahasiswa/i dan memberi manfaat dalam mendorong pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia. Mewakili KEMITRAAN, kami ucapkan selamat dan terima kasih kepada para mahasiswa/i penulis essay dan selamat membaca untuk para sahabat KEMITRAAN.
Salam,
RECREATE- KEMITRAAN
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.