Beranda / Publication

MoU dan PKS KEMITRAAN dan Universitas Parahyangan: Kolaborasi Strategis Mendukung Keberlanjutan Lingkungan dan Masyarakat Adat

KEMITRAAN melalui program Estungkara telah menyelenggarakan kegiatan road show to campus ke sejumlah universitas di Indonesia, salah satunya adalah di Universitas Parahyangan (UNPAR) Bandung. Tindak lanjut dari kegiatan ini adalah dilakukan kerjasama lebih lanjut antara KEMITRAAN dan Universitas Parahyangan dalam mendukung Pendidikan inklusif bagi mahasiswa terkait isu sosial, seperti isu lingkungan dan masyarakat adat.

Hasil tindak lanjut tersebut kemdian tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara KEMITRAAN dan UNPAR yang telah dilakukan pada hari Selasa, 6 Agustus 2024 di Gedung Rektorat UNPAR. Kesepakatan ini bertujuan untuk mengimplementasikan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) secara lebih luas dan efektif. Program MBKM sendiri merupakan inisiatif Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk mengembangkan kompetensi melalui berbagai pengalaman belajar di luar kurikulum akademik konvensional. Program ini mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang relevan dengan bidang studi mereka serta memberikan mereka pengalaman praktis yang berharga di dunia kerja.

Penandatanganan MoU dihadiri oleh sejumlah pejabat penting dari UNPAR, mulai dari Rektor, Wakil Rektor dan seluruh jajarannya. Serta Laode M. Syarif Ph.D. Direktur Eksekutif KEMITRAAN dan tim program Estungkara. Acara dimulai dengan sambutan dari masing-masing pihak yang menekankan pentingnya kolaborasi ini dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas peluang belajar bagi mahasiswa.

“Harapannya kerjasama ini tidak hanya sebatas menyediakan magang kepada mahasiswa namun juga dapat mewadahi pihak akademisi dan mahasiswa dalam melakukan riset dan kajian,” ujar Prof. Tri Basuki Joewono, Ph.D. Rektor UNPAR dalam sambutannya.

Sementara itu, Laode M. Syarif dalam sambutannya menyampaikan bahwa isu masyarakat adat adalah isu interseksional. Sehingga antinya mahasiswa juga dapat melihat dari sisi lingkungan, ekonomi, juga hukum.

“Sehingga bisa melibatkan program lain di KEMITRAAN yang saat ini mengampu sejumlah projek dalam mendukung tata kelola yang inklusif,” ujarnya.

MoU dan PKS ini mencakup ruang lingkup dalam pelaksanaan program MBKM, seperti Pertukaran Pengetahuan, KEMITRAAN dapat berkontribusi dalam memberikan edukasi terkait isu-isu sosial yang diampu oleh KEMITRAAN. Kemudian ads kegiatan lapangan, dimana KEMITRAAN membuka kesempatan magang bagi mahasiswa untuk tinggal di komunitas dalam kebutuhannya untuk riset maupun penyusunan thesis atau skripsi. Termasuk juga dengan program penelitian bersama untuk memperbanyak peran akademisi dalam kerja-kerja isu sosial dan memberikan kajian yang komprehensif bagi implementasi program.

Penandatanganan MoU dan PKS ini diharapkan akan menjadi katalisator bagi pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia dan diharapkan mahasiswa akan mendapatkan pengalaman belajar yang lebih beragam dan kian peka akan isu-isu sosial kemasyarakatan.

“Kolaborasi ini juga bentuk komitmen kami sebagai wujud nyata pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi,” tutup Prof. Tri Basuki Joewono.

UNPAR mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai komitmen yang kuat melalui tiga pilar utamanya, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dimana terkait pengabdian kepada masyarakat menjadi prioritas penting, dengan berbagai program yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan ekonomi di komunitas lokal.

Harapannya kerjasama yang baik ini dapat menjadi ruang bagi mahasiswa untuk belajar terkait isu-isu sosial dan mendorong kepekaan sosial dalam meningkatkan awareness anak muda akan isu-isu tersebut. Dan juga sesuai dengan Tri Dharma tersebut untuk mendukung lulusan yang tidak hanya unggul di bidang akademik tetapi juga memiliki kepedulian sosial dan tanggung jawab terhadap masyarakat.

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.

For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.

These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.

2000-2003

KEMITRAAN played a crucial role in supporting the development of legislation to establish the KPK. This was followed by steps to support the Government and DPR in selecting competent commissioner candidates and also supporting civil society groups to critically monitor the selection process. After the commissioners were appointed, they asked KEMITRAAN to help with the institutional design and initial recruitment of the KPK, as well as play the role of donor coordinator. It is clear that KEMITRAAN plays a key role in supporting the Corruption Eradication Commission to develop the capacity and strategies needed to work as effectively as possible.

2016

In March 2016, KEMITRAAN received international accreditation from the Adaptation Fund. The Adaptation Fund Board, in its 27th meeting, decided to accredit KEMITRAAN as National Implementing Entity (NIE) from the Adaptation Fund. KEMITRAAN is the first and only Indonesian institution to be accredited as a NIE Adaptation Fund in Indonesia.

2003

In 2003, KEMITRAAN became an independent legal entity registered as a Non-Profit Civil Partnership. At that time, KEMITRAAN was still a program managed by UNDP until the end of 2009. Since the beginning of 2010, KEMITRAAN took over full responsibility and accountability for the programs and their development.

1999-2000

The Partnership for Governance Reform, or KEMITRAAN, was founded in 2000 following Indonesia’s first free and fair general election in 1999. This historic election is an important step in Indonesia’s efforts to move away from an authoritarian past towards a democratic future. PARTNERSHIP was established from a multi-donor trust fund and is managed by United Nations Development Programme (UNDP) with a mandate to advance governance reform in Indonesia