Program

ESTUNGKARA (Kesetaraan untuk Menghapus Ketidakadilan dan Diskriminasi)

Latar Belakang

Masyarakat adat dan etnis minoritas merupakan kelompok yang rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Diskriminasi tersebut kerap kali terjadi akibat perbedaan agama atau kepercayaan yang dianut, adanya stigma sebagai kelompok yang dianggap bodoh, serta pandangan bahwa mereka lekat dengan hal-hal magis. Stereotip tersebut berdampak pada keterasingan mereka dari masyarakat luas.

Dampak nyata dari diskriminasi ini terlihat pada terbatasnya akses masyarakat adat dan etnis minoritas terhadap layanan dasar, identitas kependudukan, dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik. Ketimpangan akses ini pada akhirnya menghambat mereka dalam memperoleh layanan pemerintah dan berkontribusi pada kemiskinan serta marjinalisasi struktural.

Di dalam kelompok adat dan etnis minoritas, perempuan, penyandang disabilitas, dan anak (PDA) menjadi kelompok yang paling terdampak. Mereka mengalami peminggiran ganda, baik di lingkungan komunitasnya sendiri maupun dari kelompok masyarakat yang memiliki akses lebih terhadap sumber daya.

Dari sisi jumlah, diperkirakan terdapat sekitar 34,3 juta perempuan adat dari total 70 juta masyarakat adat di Indonesia (BPS, 2010). Hingga kini, perempuan adat di berbagai penjuru Nusantara masih menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan, baik di ranah domestik, ruang publik, maupun dari negara.

Padahal, perempuan adat memiliki peran penting dalam menjaga pengetahuan lokal, melestarikan tradisi, dan melindungi hutan. Namun, data baseline Program Estungkara tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya 43% perempuan adat yang menamatkan pendidikan hingga jenjang Sekolah Dasar (SD). Di wilayah dampingan Estungkara, tercatat terdapat 170 orang penyandang disabilitas, yang sebagian besar masih mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas harian akibat keterbatasan akses terhadap alat bantu. Sebanyak 90% di antaranya belum memperoleh alat bantu yang dibutuhkan untuk menunjang mobilitas dan kemandirian mereka.

Pada tahun 2023, KEMITRAAN bersama LAURA UGM melakukan riset etnografi terkait kekerasan seksual di komunitas adat dan etnis minoritas. Hasil riset menunjukkan bahwa meskipun sebagian komunitas sudah mulai mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual, penanganan kasus dan penegakan hukumnya masih sangat lemah. Hal ini disebabkan oleh minimnya dukungan dari aparat desa, tokoh adat, dan aparat penegak hukum. Di tengah situasi tersebut, rumah ibadah dan para pelayan di dalamnya justru terbukti menjadi ruang aman bagi para penyintas kekerasan seksual.

Tujuan

Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahaan di Indonesia yang lebih inklusif khususnya bagi masyarakat adat termasuk di dalamnya perempuan adat, perempuan kepala keluarga, anak dan disabilitas (PDA) serta kelompok rentan lain, dengan mendorong terjadinya kesetaraan dan keadilan gender, inklusi sosial, peningkatan ekonomi dan penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil.

Wilayah Kerja

Program ESTUNGKARA bekerja sama erat dengan instansi pemerintah Indonesia, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil di tingkat nasional maupun daerah serta di enam provinsi prioritas dampingan: Sumatera Barat, Jambi, Banten, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Fokus Kami

  1. Pengarusutamaan Gender Equality, Disability and Social Inclusion (GEDSI) untuk mendorong partisipasi perempuan dan disabilitas di dalam proses perencanaan pembangunan, advokasi kebijakan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan kelompok rentan lainnya serta fasilitasi akses layanan dasar, program pemerintah, perlindungan sosial dan layanan bagi perempuan korban kekerasan;
  2. Kolaborasi dengan sejumlah organisasi lokal di 6 provinsi sebagai mitra daerah serta penguatan forum multi pihak untuk mendorong isu masyarakat adat dan etnis minoritas;
  3. Mendorong kemandirian dan penguatan perempuan dalam kelembagaan ekonomi komunitas termasuk ketahanan pangan komunitas;
  4. Kampanye kesetaraan dan penyadaran publik terutama untuk generasi muda melalui www.estungkara.id

Mitra Kerja

Anggaran

AUD 5.041.730.00

Durasi

Fase I (2022-2025)
Fase II (2026 – 2028)

Dokumen Terkait

https://drive.google.com/drive/folders/1iZvwziMqrjdoIC9qPQPVGpYjaJsQNOIx?usp=drive_link
https://estungkara.id/

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.