Beranda / Publication

Menjamin Keamanan bagi Jurnalis dalam Meliput

Jakarta, 24 Maret 2021 – Indonesia tengah mengalami kemunduran demokrasi akibat adanya pembatasan kebebasan sipil. Kondisi itu diperparah dengan maraknya ancaman terhadap warga yang tengah mempertahankan haknya dari ekploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang mengatasnamakan pembangunan. 

Pada sisi lain, jurnalis sebagai salah satu pilar demokrasi dan bertugas meliput serta memberitakan peristiwa yang terjadi di sektor lingkungan kepada publik juga tidak lepas dari ancaman. Mereka kerap menjadi korban kekerasan, kriminalisasi, dan bahkan pembunuhan yang diduga dilakukan oleh oknum berkuasa.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mendata bahwa terjadi 413 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam periode lima tahun terakhir. Dari jumlah itu, sebanyak 117 kasus terjadi pada tahun 2020 – terbanyak sepanjang LBH Pers melakukan pemantauan.

Bentuk serangan yang diterima jurnalis pun beragam. Ada yang mengalami pengeroyokan, pemukulan, perusakan alat meliput, intimidasi psikis, hingga serangan digital. 

Jurnalis perempuan juga rentan terhadap kekerasan seksual saat bekerja. Hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada Agustus 2020 terhadap 34 jurnalis dari berbagai kota menyebutkan, 25 responden mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Menurut survei itu, tiap responden mengalami lebih dari satu kali kekerasan seksual. AJI Jakarta mengungkap, sebanyak 63,3 persen responden memilih tak melapor. 

Meski ada beberapa responden yang telah memberanikan diri mengadukan kasus itu, sayangnya, mereka tak mendapat respons positif dari perusahaan media. Ada yang tak ditanggapi, direspons tapi tak ditindaklanjuti, bahkan ada yang akhirnya diintimidasi oleh pelaku maupun kantor. 

Potret kekerasan terhadap jurnalis memang kian menghkawatirkan, tapi tidak mengagetkan. Pasalnya hingga kini, jurnalis di Indonesia bekerja dengan perlindungan yang minim dari negara, serta tanpa protokol keamanan dari perusahaan media tempatnya bernaung. 

Situasi ini pun mendorong LBH Pers dan KEMITRAAN, atas dukungan Kedutaan Belanda, menyusun Protokol Keamanan untuk Jurnalis dalam Meliput Isu Kejahatan Lingkungan yang dirilis pada 24 Maret 2021. 

Buku ini menguraikan secara detail tentang hal-hal yang perlu disiapkan jurnalis sebelum melakukan liputan, dan tahapan yang harus dilakukan saat menghadapi serangan. Pada bagian pertama, buku ini membahas mengenai perencanaan dan persiapan. Ulasan tentang keselamatan pada saat meliput menjadi materi bagian kedua. Selanjutnya, bagian tiga berbicara soal keamanan digital, serta penjelasan tentang berita dan kode etik jurnalistik di bagian selanjutnya. Bagian terakhir, membahas soal publikasi.

Pada acara peluncuran buku, LBH Pers mengundang sejumlah narasumber yang berpengalaman di dunia jurnalisme. Puluhan orang dari berbagai elemen seperti jurnalis, aktivis dari organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa mengikuti acara yang diselenggarakan secara daring tersebut. 

Sekretaris Jenderal Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) M. Nasir, salah satu narasumber saat peluncuran Protokol Keamanan mengungkapkan bahwa protokol perlindungan dan keamanan bagi jurnalis dalam meliput perang dan bencana sudah ada, tapi belum lengkap dan menjadi prosedur operasional standar media-media di Indonesia. Kata Nasir, penerbitan “Protokol Keamanan untuk Jurnalis dalam Meliput” ini menjawab kebutuhan dasar jurnalis dalam melakukan peliputan, khususnya isu kejahatan lingkungan. 

Pernyataan senada disampaikan oleh Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Irna Gustiawati. “Akhirnya, kita punya protokol keamanan jurnalis. Protokol keamanan ini sudah sangat komplit. Ini dia yang kami tunggu-tunggu,” katanya. Narasumber lain, Joris Ramm dari Kedutaan Belanda, juga memberikan pujian kepada LBH Pers dan KEMITRAAN yang telah menjawab kebutuhan perlindungan keamaan jurnalis melalui protokol keamanan ini. 

KEMITRAAN memahami, upaya untuk mewujudkan perlindungan keamaan bagi jurnalis di tengah menurunnya kualitas demokrasi memang bukan perkara mudah. Namun, KEMITRAAN menilai, penerbitan “Protokol Keamanan untuk Jurnalis dalam Meliput Isu Kejahatan Lingkungan” ini dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan advokasi dan menjalin kerja sama yang lebih kuat dengan kelompok jurnalis, agar penghormatan, perlindungan pada HAM dan para pembela HAM dapat terpenuhi. 

Kerja keras untuk mencapai tujuan itu tentu tak boleh berhenti di sini. Perlu upaya lebih agar perusahaan media mau berkomitmen mengadopsi dan menerapkannya di lingkungan kerja. Selain itu, seperti dikatakan pembicara lain dalam kegiatan tersebut, Peter ter Velde, Project Manager dari Pressvlig, sebuah organisasi pers di Belanda yang fokus pada isu keamanan jurnalis. Katanya, pemerintah, bahkan kepolisian dan partai politik juga tetap harus menjalankan perannya dalam menjamin kebebasan pers agar perlindungan bagi kerja-kerja jurnalistik di Indonesia dapat seutuhnya tercapai.

Buku Protokol Keamanan untuk Jurnalis dalam Meliput Isu Kejahatan Lingkungan 

Simak acara peluncuran buku “Protokol Keamanan untuk Jurnalis dalam Meliput Isu Kejahatan Lingkungan” di bawah ini.

2016

Pada bulan Maret 2016, KEMITRAAN menerima akreditasi internasional dari Adaptation Fund. Dewan Adaptation Fund, dalam pertemuannya yang ke-27, memutuskan untuk mengakreditasi KEMITRAAN sebagai National Implementing Entity (NIE) dari Adaptation Fund. KEMITRAAN menjadi lembaga pertama dan satu-satunya lembaga Indonesia yang terakreditasi sebagai NIE Adaptation Fund di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

 

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

 

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

2000-2003

KEMITRAAN memainkan peran krusial dalam mendukung pengembangan undang-undang untuk membentuk KPK. Hal ini diikuti dengan langkah mendukung Pemerintah dan DPR dalam memilih calon komisioner yang kompeten dan juga mendukung kelompok masyarakat sipil untuk mengawasi secara kritis proses seleksinya. Setelah komisioner ditunjuk, mereka meminta KEMITRAAN untuk membantu mendesain kelembagaan dan rekrutmen awal KPK, serta memainkan peran sebagai koordinator donor. Sangat jelas bahwa KEMITRAAN memainkan peran kunci dalam mendukung KPK untuk mengembangkan kapasitas dan strategi yang diperlukan agar dapat bekerja seefektif mungkin.

2003

Pada tahun 2003, KEMITRAAN menjadi badan hukum yang independen yang terdaftar sebagai Persekutuan Perdata Nirlaba. Pada saat itu, KEMITRAAN masih menjadi program yang dikelola oleh UNDP hingga akhir tahun 2009. Sejak awal tahun 2010, KEMITRAAN mengambil alih tanggung jawab dan akuntabilitas penuh atas program-program dan perkembangannya.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.

Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.

Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.

1999-2000

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000 setelah berlangsungnya pemilihan umum pertama di Indonesia yang bebas dan adil pada tahun 1999. Pemilu bersejarah ini merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia keluar dari masa lalu yang otoriter menuju masa depan yang demokratis. KEMITRAAN didirikan dari dana perwalian multi-donor dan dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan mandat untuk memajukan reformasi tata kelola pemerintahan di Indonesia.

2020

This agreement was signed between Green Climate Fund (GCF) and PARTNERSHIP. This agreement formalizes KEMITRAAN’s accountability in implementing projects approved by the GCF.

For your information, the GCF is the world’s largest special fund that helps developing countries reduce greenhouse gas emissions and increase their ability to respond to climate change.

These funds were collected by the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in 2010. The GCF has an important role in realizing the Paris Agreement, namely supporting the goal of keeping the average global temperature increase below 2 degrees Celsius.

2000-2003

KEMITRAAN played a crucial role in supporting the development of legislation to establish the KPK. This was followed by steps to support the Government and DPR in selecting competent commissioner candidates and also supporting civil society groups to critically monitor the selection process. After the commissioners were appointed, they asked KEMITRAAN to help with the institutional design and initial recruitment of the KPK, as well as play the role of donor coordinator. It is clear that KEMITRAAN plays a key role in supporting the Corruption Eradication Commission to develop the capacity and strategies needed to work as effectively as possible.

2016

In March 2016, KEMITRAAN received international accreditation from the Adaptation Fund. The Adaptation Fund Board, in its 27th meeting, decided to accredit KEMITRAAN as National Implementing Entity (NIE) from the Adaptation Fund. KEMITRAAN is the first and only Indonesian institution to be accredited as a NIE Adaptation Fund in Indonesia.

2003

In 2003, KEMITRAAN became an independent legal entity registered as a Non-Profit Civil Partnership. At that time, KEMITRAAN was still a program managed by UNDP until the end of 2009. Since the beginning of 2010, KEMITRAAN took over full responsibility and accountability for the programs and their development.

1999-2000

The Partnership for Governance Reform, or KEMITRAAN, was founded in 2000 following Indonesia’s first free and fair general election in 1999. This historic election is an important step in Indonesia’s efforts to move away from an authoritarian past towards a democratic future. PARTNERSHIP was established from a multi-donor trust fund and is managed by United Nations Development Programme (UNDP) with a mandate to advance governance reform in Indonesia