Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia Ferdy Sambo divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat yang merupakan ajudan pribadi dari sang Istri, Putri Candrawathi. Berbulan lamanya “drama” Sambo mengisi ruang publik. Hiruk-pikuk ini muncul lantaran skenario awal yang berubah dari insiden tembak-menembak menjadi pembunuhan berencana.
Namun, yang lebih memprihatinkan, pihak-pihak yang terlibat merupakan anggota Polri. Orang-orang yang diangkat sumpahnya oleh negara untuk mengayomi dan melindungi masyarakat. Selain kasus Sambo, sejumlah pelanggaran hukum dan etika oleh anggota Polri belakangan juga bermunculan. Dari seorang Inspektur Jenderal Polisi yang tersangkut kasus penggelapan barang bukti narkoba hingga perwira menengah berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) yang menjadi makelar kasus warisan. Dari cerita mantan intel polisi yang menjadi beking kegiatan tambang ilegal hingga laku ganjil anggota Sabhara yang mengajak rekan sesama anggota Polri untuk bersama-sama setubuhi istri.
Belakangan, publik kembali dikejutkan oleh pengakuan seorang anggota Provost Polsek Jatinegara yang diperas oleh penyidik di Polda Metro Jaya, tatkala melaporkan dugaan penyerobotan lahan milik keluarganya. Jika ditilik ke belakang, institusi Polri pascareformasi menjadi institusi sipil bersenjata yang paling kuat setelah terpisah dari institusi militer di bawah rezim dwifungsi ABRI. Sebagai penegak hukum yang berada diseantero negeri, Polri dipimpin oleh satu orang Kapolri dan langsung bertangungjawab kepada Presiden.
Di luar isu manajerial, sentralitas di institusi Polri menyebabkan organ pengawasan internal tidak sebanding dengan lingkup pengawasan yang dilakukan. Sebagai negara yang masih lemah dalam hal penerapan prinsip negara hukum (rule of law), maka wajar jika akuntabilitas lembaga kepolisian di Indonesia tidak akan pernah tercapai jika hanya menggantungkan aspek pengawasannya pada lingkup internal saja (Amnesty International, 2015). Keberadaan Komisi Kepolisan Nasional (Kompolnas) sebagai lembaga pengawas di luar institusi Polri sejauh ini belum bisa menjawab problem keseimbangan tersebut.
Keterbatasan wewenang serta strukur organisasi yang masih belum sepenuhnya independen membuat kinerja Kompolnas selama ini seolah sebagai ‘juru bicara’ Polri (Koran Tempo, 10/1). Maka, perlu kiranya meninjau kembali model kelembagaan pengawasan institusi Polri yang lebih proporsional. Terkait hal ini, Amnesty International (2015) menemukan sejumlah aspek yang menentukan efektifitas pengawasan eksternal instisusi kepolisian di sejumlah negara.
Di antaranya adalah (1) adanya mandat, (2) aksesibiltas dan mekanisme aduan yang jelas, (3) kewenangan untuk menyelidiki dan memberikan rekomendasi, (4) alokasi budget yang cukup, (5) adanya penunjukkan atau pemilihan dari pimpinan lembaga berikut dengan prosedur pemberhentian, (6) akuntabilitas dan petunjuk pelaporan, (7) adanya mekanisme banding atas rekomendasi, dan (8) adanya partisipasi publik.
Kewenangan menyelidik
Pelapor khusus Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Police Oversight Mechanisms (2010) menegaskan keberadaan lembaga pengawasan kepolisian tidak akan cukup tanpa dilengkapi dengan kewenagan semi penyidik atau penuntut (quasi-police investigator or prosecutor powers) untuk melakukan penyelidikan yang efektif terhadap suatu pengaduan. Kewenangan tersebut mencakup pemeriksaan dokumen, penggeledahan, serta memaksa pihak terlapor dalam hal ini institusi kepolisian untuk mau bekerjasama mengikuti proses pemeriksaan.
Kewenangan ini sudah lama dipraktikan di sejumlah organisasi sejenis seperti Independent Police Investigative Directorate (IPID) Afrika Selatan, Independent Police Oversight Authority (IPOA) Kenya, Independent Police Conduct Authority (IPCA NZ) New Zeland, Police Complaints Division Mauritius, serta Independent Police Complaints Commission (IPCC) Inggris dan Wales. Hasil penyelidikan yang telah rampung dapat menentukan apakah akan dilanjutkan untuk dituntut secara pidana, penjatuhan sanksi disiplin, memberikan kompensasi kepada para korban atau rekomendasi perubahan kebijakan atau prosedur internal kepolisian.
Tatkala hasil rekomendasi diteruskan ke proses hukum pidana harus ada ketegasan bahwa kasus tersebut akan dilanjutkan oleh penyidik internal Polri dengan supervisi yang ketat atau dilakukan penyidikan lanjutan oleh Kejaksaan. Jika pun perkara tidak dilanjutkan kepada proses hukum, harus dijelaskan ke publik sejumlah alasan yang mendasarinya. Selain itu, upaya banding atau keberatan harus disediakan kepada pelapor atau publik secara umum atas keputusan tersebut untuk memenuhi prinsip keadilan.
Pelibatan masyarakat dan pemerintah daerah
Jamak diketahui jika masyarakat di daerah yang minim pengawasan terhadap kinerja aparat akan lebih mudah menjadi korban kesewenang-wenangan ketimbang masyarakat yang lebih dekat dengan elemen pengawasan. Maka keberadaan lembaga pengawas eksternal kepolisian yang tidak hanya berada di pusat pemerintahan semakin mendapatkan relevansinya. Selain itu, pelibatan masyarakat atau komunitas akan lebih efektif dalam lingkup wilayah yang tidak terlalu luas. Misalnya, melalui kegiatan forum-forum warga dan elemen masyarakat sipil lainnya yang dilakukan secara reguler. Lembaga pengawas daerah dapat menjadi jembatan antara insitusi Polri dengan masyakarat untuk secara bersama-sama mengevaluasi setiap tindakan kepolisian yang berpotensi mengarah kepada kesewenang-wenangan.
Pemerintah daerah juga selayaknya turut ambil bagian dari upaya mendemokratiskan perangkat kepolisian di daerah. Mengingat, selain sebagai mitra kepala daerah dalam hal menjaga ketertiban dan keamanan, kepolisian harus dipandang sebagai pihak yang berpotensi merusak tatanan keharmonisan itu sendiri. Walaupun disadari, dalam lanskap konstitusi hanya menggariskan bahwa urusan penegakan hukum merupakan salah satu urusan pemerintah pusat.
Namun, keselamatan warga di daerah yang notabene berkontribusi pada pendapatan asli daerah juga selayaknya mendapatkan perlindungan dari pemerintah daerahnya. Sejumlah program yang berkaitan dengan hal tersebut bisa dilakukan dengan menggandeng lembaga pengawas eksternal Polri di daerah.
Penulis: Refki Saputra, Project Officer KEMITRAAN
Artikel ini telah tayang di kompas.com
Editor : Sandro Gatra
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.