Setidaknya lima tahun terakhir, hampir tidak terlihat adanya perkembangan hukum yang menggembirakan di Indonesia. Berbagai institusi yang lahir dari semangat reformasi, secara bertahap dan sistematis, diperlemah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diperlemah integritas personel dan kemandirian kelembagaannya melalui revisi UU KPK, pemilihan pimpinan yang sebagian bermasalah dan ‘pemecatan’ puluhan pegawai KPK. Masalah yang hampir identikal terjadi pada Mahkamah Konstitusi. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), penyalahgunaan kewenangan, serta pelanggaran etik merebak di berbagai institusi hukum, seperti Mahkamah Agung (MA), Kepolisian RI (Polri), Kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan HAM. Di sisi lain, proses penyusunan peraturan kerap dilakukan secara tertutup, sangat kilat dan, tidak melibatkan publik, sebagai mana terlihat, misalnya dalam penyusunan UU KPK, UU MK, UU Cipta Kerja, dan UU Minerba. Ruang bagi masyarakat untuk berserikat dan berekspresi dipersempit, termasuk dengan tindakan-tindakan ‘kriminalisasi’ terhadap mereka yang berbeda pendapat atau memperjuangkan hak hidupnya.
Kondisi-kondisi di atas sedikit banyak terefleksi dalam berbagai hasil kajian dan survei, termasuk, baru-baru ini, Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index -RoL Index 2023) tahun 2023, indeks tahunan yang disusun oleh World Justice Project. Berdasarkan laporan yang diterbitkan tanggal 25 Oktober 2023, skor RoL Index Indonesia tahun 2023 adalah 0,53 (dengan nilai 1 sebagai nilai tertinggi), atau sama dengan skor tahun 2022.
“Skor ini mengindikasikan stagnasi dalam perkembangan pembangunan hukum di Indonesia, sesuatu yang jelas memprihatikan” ujar Laode M Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN. Syarif menambahkan bahwa “stagnasi ini sudah terjadi sejak tahun 2015 hingga 2023, dimana skor Indonesia “konsisten” diangka 0.52-0.53”. “Jika membandingkan dengan penilaian pada dunia pendidikan, rapor negara hukum Indonesia bisa dianggap merah” lanjutnya.
Jika diperiksa lebih jauh, skor atas mayoritas faktor/isu (dan sub-faktor/isu) yang dinilai tidak banyak berubah antara tahun 2022 dan 2023 (lihat tabel di bawah). Secara kumulatif, faktor/isu yang nilainya ‘hijau’ hanyalah yang terkait ‘ketertiban dan keamanan’ (dengan nilai 0.71), diikuti dengan ‘pembatasan kekuasaan pemerintah’ (dengan nilai 0.66). Sisanya dibawah nilai 0.58! Nilai yang berubah relatif cukup besar (naik atau turun di atas 0.1) utamanya terkait faktor/isu peradilan pidana dan kebebasan dasar.
Perbandingan Penilaian RoI Index Indonesia Tahun 2022 dan 2023
Berdasarkan penilaian di atas, terjadi peningkatan 0.3 poin terkait efektifitas peradilan pidana. Sebagai contoh, terdapat peningkatan nilai atas kinerja (kompetensi dan kecepatan kerja) penuntutan dan pengadilan (sub-faktor/isu 8.1). “Peningkatan ini kemungkinan didorong oleh perbaikan kinerja, khususnya kejaksaan, dalam penanganan kasus-kasus korupsi besar”, ujar Laode Syarif. Peningkatan serupa terjadi terkait efektivitas sistem pemasyarakatan efektif dalam mengurangi perilaku kriminal (sub-faktor/isu 8.2) dan “pemenuhan proses hukum dan hak-hak terdakwa” (sub-faktor/isu 8.7). Terkait peradilan perdata, terdapat peningkatan skor 0.2 yang berhubungan dengan kemudahan bagi dalam mengakses peradilan perdata (sub-faktor 7.1). Peningkatan ini kemungkinan besar disebabkan karena pemberlakukan “e-court” yang didorong MA, yang mengurangi kebutuhan pencari keadilan untuk datang ke pengadian dalam proses peradilan perdata.
Satu-satunya penurunan pada faktor/isu peradilan adalah terkait imparsialitas peradilan pidana (sub-faktor/isu 8.3), yakni penurunan sebesar 0.2 (dari 0.28 menjadi 0.26). Faktor/isu ini mengukur netralitas polisi dan hakim dalam menjalankan tugasnya, termasuk ada/tidaknya diskriminasi terhadap tersangka/terdakwa, baik karena status sosial, gender, atau lainnya. “Penurunan penilaian terkait imparsialitas polisi dan hakim diduga dipengaruhi beberapa kasus korupsi yang melibatkan hakim agung dan pegawai pengadilan, serta kasus korupsi, kekerasan dan penyalahgunaan kewenangan lain oleh oknum petinggi Polri beberapa waktu belakangan”, ujar Rifqi S Assegaf, Direktur Program Keadilan, Demokrasi dan Tata Pemerintahan KEMITRAAN.
Perubahan skor terlihat pula pada faktor/isu terkait hak dasar (HAM). Terjadi penurunan skor sebesar 0.2 terkait sub-faktor ‘Hak atas hidup dan keamanan pribadi terjamin secara efektif” (sub faktor/isu 4.2), yakni dari 0.50 menjadi 0.48. Sub-faktor ini mengukur praktik kekerasan oleh polisi terhadap tersangka serta ancaman (hukum dan non hukum) atau kekerasan bagi jurnalis atau mereka yang memiliki pandangan politik berbeda dari pemerintah. “Penurunan nilai terkait jaminan atas hak hidup dan keamanan ini kemungkinan besar terjadi karena makin maraknya ancaman dan kriminasisai bagi aktivis dan pejuang HAM, sebagaimana terlihat, antara lain, dari proses hukum terhadap Haris dan Fathia serta Rocky Gerung”, ujar Rifqi S Assegaf. Menariknya, skor terkait sub-faktor Proses hukum dan hak tersangka secara hukum meningkat 0.3. Sub-faktor/isu ini menilai pemenuhan hak-hak tersangka (misalnya hak untuk tidak dianggap bersalah sebelum ada putusan pengadilan, hak atas bantuan hukum, atau untuk tidak ditangkap secara melawan hukum) serta hak bagi narapidana. Bisa jadi peningkatan ini lebih dipicu oleh peningkatan anggaran bagi bantuan hukum.
Meski stagnan, penilaian RoL Index Indonesia 2023 -yang dilakukan melalui survei kepada ahli antara February-Juni 2023 ini- sebenarnya cukup mengejutkan karena selama 2022-2023 cukup banyak kondisi yang mengindikasikan terjadinya kemunduran pada sektor hukum. Publik menyaksikan berbagai insiden seperti penangkapan hakim agung, pegawai pengadilan serta petinggi Polri, baik karena dugaan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), penyalahgunaan kewenangan, dan kekerasan. Terjadi beberapa pelanggaran etik oleh pimpinan KPK. Pelemahan MK-pun berlanjut, termasuk melalui proses pemberhentian Hakim Konstitusi yang melanggar konstitusi serta rencana revisi UU MK, termasuk untuk memuluskan rencana seleksi lima tahunan bagi hakim konstitusi agar tidak mbalelo dengan lembaga yang mengusulkannya. Praktik penyusunan UU secara kilat dan ‘sembunyi-sembunyi’, tidak berubah, termasuk dalam pembahasan UU Cipta Kerja pasca putusan MK, revisi UU ASN atau UU ITE. Kriminalisasi terhadap aktivis dan pejuang HAM pun masih berlanjut. Meski demikian, skor terkait pembatasan kekuasaan pemerintahan, absennya korupsi, maupun keterbukaan pemerintah tidak menurun (tetap sama) dari skor tahun 2022.
Pada pertengahan September 2023, Tim Percepatan Reformasi Hukum yang dibentuk oleh Menkopolhukam, telah menyampaikan berbagai rekomendasi jangka pendek dan menengah kepada Presiden untuk mempercepat perbaikan lembaga peradilan dan penegakan hukum, anti korupsi, serta peraturan perundang-undangan. “KEMITRAAN yakin bahwa mayoritas rekomendasi tersebut, jika dijalankan oleh pemerintah, akan secara bertahap memperbaiki pembangunan hukum di Indonesia, termasuk meningkatkan RoL Index Indonesia” ujar Laode Syarif. Rekomendasi Tim tersebut mencakup berbagai agenda, seperti: penguatan leadership pada Polri, Kejaksaan, Pengadilan dan Kemenkumham (misalnya melalui proses seleksi yang berintegritas dan ketat); penguatan kualitas, transparansi dan partisipasi penyusunan peraturan perundang-undangan; penguatan profrsionalisme Polri melalui pembatasan penempatan personel Polri pada K/L lain; percepatan eksekusi putusan pengadilan perdata dan TUN; penguatan kembali KPK melalui revisi UU KPK seperti sedia kala; penguatan aturan terkait konflik kepentingan; serta penguatan jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk untuk mencegah kriminalisasi terhadap aktivis dan jurnalis. Masih ada waktu sekitar satu tahun untuk melakukan perubahan-perubahan tersebut!
Narahubung:
Rifqi S. Assegaf, S.H, LL.M, Ph.D,
081223795050, rifqi.assegaf@kemitraan.or.id
Lampiran:
Faktor dan Aspek Penilai RoL Index
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.