Diseminasi Kertas Kerja: Mewujudkan Ruang Aman Bagi Perempuan Adat dari Praktik Kekerasan Berbasis Gender

13 May 2023

Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, khususnya perempuan adat adalah seringkali tak nampak sebagai sebuah persoalan serius karena tidak terjangkau atau nyaris tersamarkan karena keterbatasan data. Padahal, perempuan adat dalam Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah pemangku dan penjaga pengetahuan adat. Perempuan adat memiliki pengetahuan dalam pengolahan sumber daya alam yang menjadi bentuk pelestarian lingkungan dan ketahanan komunitas. Meski demikian, kekerasan berbasis gender yang kerap dihadapi perempuan adat dapat terjadi baik di ruang privat maupun ruang publik, baik dalam bentuk kekerasan fisik, mental dan kekerasan seksual.

“Kekerasan berbasis gender merupakan tindakan kekerasan yang mengarah kepada individu dan disebabkan karena ketidakadilan gender, penyalahgunaan kekuasaan dan norma yang berlaku. Kekerasan ini merupakan pelanggaran HAM yang sangat serius yang mengancam kesehatan dan kehidupan,” ujar Dahniar Andriani, praktisi perempuan adat.

Perundangan yang ada saat ini, yaitu Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan yang tengah didorong oleh koalisi saat ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang MHA belum secara khusus mengatur perlindungan terhadap perempuan adat dari kekerasan seksual. Hal ini dilihat dari bagaimana aturan mengenai kekerasan berbasis gender terhadap perempuan adat, kaitannya dengan kekhasan MHA, lembaga dan peradilan adat, restitusi, prinsip harmonisasi antara manusia dan alam sekitarnya dalam keseharian, dan peran laki-laki dan perempuan dalam penyelesaian kasus.

“Perempuan adat memiliki peran luar biasa dalam pembangunan bangsa, karena mereka adalah ‘ibu negeri’ yang selalu menjadi garda terdepan dalam melindungi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal nusantara, serta berperan penting dalam menjaga ketahanan ekonomi, menjaga kelestarian lingkungan, dan memelihara harmoni alam dan manusia. Sayangnya, peran mereka kadang kurang dihargai karena stigma dan diskriminasi akibat kentalnya budaya patriarki, sehingga membuat mereka kurang dilibatkan dalam proses pembangunan, mengalami kekerasan berbasis gender, hingga terjerat dalam kemiskinan,” ungkap Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN.

Berdasarkan hasil pendampingan terhadap masyarakat adat yang dilakukan KEMITRAAN bersama 10 lembaga sub-mitra di 7 provinsi di Indonesia, diketahui bahwa kekerasan seksual yang merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang kerap terjadi di komunitas adat, umumnya berakhir hanya dengan pelaku memberikan uang atau benda pengganti kerugian kepada korban, (praktik restitusi). Tetua atau lembaga adat seringkali menjadi tempat anggota komunitas dalam mencari keadilan namun putusan yang dihasilkan cenderung mengabaikan hak perempuan adat, seperti tidak menghadirkan korban saat adanya putusan adat.

Situasi ini diperkuat dengan keterbatasan pemahaman tentang kekerasan seksual dan cenderung menutupi jika ada anggota komunitas atau keluarga yang menjadi korban. Bentuk penyelesaian kasus seperti ini minim memberikan efek jera bagi pelaku, bagi komunitas dan tidak mampu memenuhi rasa keadilan bagi korban. Berbagai upaya pencegahan kekerasan dan penanganan kasus pun masih terbentur oleh aturan adat dan keterbatasan perspektif perlindungan korban.

Melihat situasi ini, KEMITRAAN melalui program INKLUSI mengadakan diseminasi kertas kerja yang dalam penyusunannya didasari oleh serangkaian diskusi bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan ahli untuk menemukenali bentuk kekerasan seksual dan latar belakang situasi kekerasan berbasis gender yang terjadi di komunitas adat. Rangkaian diskusi ini mengungkapkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di komunitas adat merupakan hasil dari praktik kekerasan berbasis gender yang sudah langgeng terjadi di masyarakat adat selama ini.

“Dokumen kertas kerja ini melihat bagaimana UU TPKS dan RUU Masyarakat Hukum Adat dalam kaitannya dengan UU KUHP, serta melihat apakah regulasi yang ada saat ini cukup memberikan perlindungan bagi perempuan adat. Kertas kerja ini melihat dari sejumlah hal seperti aspek kearifan lokal, posisi masyarakat adat sebagai subyek hukum yang non diskriminasi, lembaga adat, delik aduan pada kasus kekerasan seksual non fisik, pengadilan adat, hingga restitusi dalam penegakan hukum di masyarakat adat,” terang Yasir Sani, Program Manager KEMITRAAN.

Kertas kebijakan ini merekomendasikan perlunya revisi UU TPKS dan/atau turunannya dengan mengakomodir kearifan lokal, penyelesaian kekerasan berbasis gender terhadap perempuan adat melalui lembaga adat adat peradilan adat, dan restitusi tidak hanya kepada korban tapi juga keluarga korban dan komunitasnya.

Wakil Bupati Sigi, Dr. Samuel Yansen Pongi, S.E., M.Si, sebagai salah satu panelis dalam diskusi interaktif menyampaikan bahwa untuk meminimalisir kasus kekerasan, Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi, melalui surat edaran bernomor 100.3.4.2 / 20.19 / DPPPA, mendorong agar Kepala Desa wajib membuat regulasi/perdes tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta perkawinan anak.

Diseminasi yang diselenggarakan pada tanggal 11 Mei 2023 di Jakarta ini turut dihadiri oleh Bappenas, Kementerian Pendidikan, Wakil Bupati Kabupaten Sigi, Komnas HAM, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan media. Harapannya dokumen ini dapat mendukung dalam upaya menemukan peluang mekanisme penanganan kasus di komunitas adat atau munculnya produk hukum yang memberikan jaminan penuh perlindungan bagi perempuan adat dari praktik kekerasan.