“Ketika seluruh perempuan diberdayakan, maka seluruh masyarakat merasakan manfaatnya,” ucap Asha Rose Migiro, Deputi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Keterwakilan perempuan dalam berbagai sektor masih sangat rendah, termasuk di Parlemen. Secara kuantitas, keterwakilan perempuan tidak sebanding dengan populasinya. Secara kualitas, beban terkait relasi produksi-reproduksi serta seksualitas yang dihadapi perempuan juga tidak imbang. Terlebih, jaminan keterwakilan perempuan dari negara melalui sistem kuota 30% baru memberi perubahan secara deskriptif, belum secara substantif. Hal ini didukung oleh data dari Women in National Parliament, Inter-Parliament Union, 2013 bahwa persentase beberapa kawasan masih belum mencapai 30% dari keterwakilan perempuan seperti di Amerika (23.9%), Eropa (21.9%), Afrika Sub-Sahara (20.9%), Asia (18.4%), Arab (15.7%) dan Pasifik (12.7).
Hasil presentase keterwakilan perempuan di Asia masih sangat memprihatinkan karena 61.5% populasi dunia berada di Asia. Padahal gerakan perempuan dalam memperjuangkan keterwakilan perempuan telah dilakukan sejak awal abad ke-20, sejalan dengan penerapan demokrasi di negara Asia. Dalam mewujudkan upaya peningkatan keterwakilan perempuan di Asia dan mendukung gerakan perempuan secara umum, melalui proyek IKAT US Component 1 yang didanai oleh USAID (United States Agency for International Development) KEMITRAAN bekerja sama dengan National Democratic Institute (NDI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Persatuan Kesedaran Komuniti Selangor (Empower) Malaysia, Caucus Feto Iha Politica Timor Leste, the Cambodian Center for Human Rights (CCHR), dan the Center for Popular Empowerment (CPE) menggagas publikasi dari hasil riset di beberapa negara Asia Tenggara, yakni buku Keberhasilan dan Hambatan Keterwakilan Perempuan di Asia Tenggara: Antara Kebijakan Negara, Partai Politik dan Gerakan Perempuan.
Buku ini membahas pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen dan sistem yang mendukung pelibatan perempuan di luar parlemen. Sistem politik negara dalam mengatur kebijakan kuota perempuan di parlemen dan sistem pemilu serta rekrutmen kandidat perempuan dalam partai politik juga dibahas dalam buku ini. Termasuk sistem patriarki yang menjadi hambatan perempuan dalam partisipasi politik, gerakan perempuan untuk politik afirmasi, dan tantangan keterwakilan perempuan dalam parlemen. Pembaca dapat memperkaya diskusi dan pemahaman akan isu partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik melalui buku ini.
Buku Keberhasilan dan Hambatan Keterwakilan Perempuan di Asia Tenggara
Perjanjian ini ditandatangani antara Green Climate Fund (GCF) dan KEMITRAAN. Perjanjian ini meresmikan akuntabilitas KEMITRAAN dalam melaksanakan proyek-proyek yang disetujui oleh GCF.
Untuk diketahui, GCF adalah dana khusus terbesar di dunia yang membantu negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan kemampuan mereka dalam merespons perubahan iklim.
Dana ini dihimpun oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 2010. GCF memiliki peran penting dalam mewujudkan Perjanjian Paris, yakni mendukung tujuan untuk menjaga kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.