Tulisan Efendi Lod Simanjuntak yang bertajuk “Anatomi Hukum Transaksi Mencurigakan” di harian KOMPAS (6/4) mengulas persoalan hukum perampasan aset yang berasal dari transaksi keuangan mencurigakan.
Berangkat dari fenomena terungkapnya harta kekayaan pejabat yang tidak sesuai profil jabatannya, ia mempertanyakan dapatkah harta kekayaan tersebut disita dan dirampas, sementara pelakunya belum dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana (asal).
Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan Efendi, pertama terkait tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana lanjutan (subsequent offense), bukan tindak pidana yang berdiri sendiri (independent crime), sehingga pencucian uang sangat tergantung pada tindak pidana induknya.
Kedua, tindak pidana pokok yang penting dibuktikan terlebih dahulu sebelum perampasan harta kekayaan tidak wajar dilakukan.
Ketiga, perampasan terhadap harta kekayaan terkait pencucian uang tanpa membuktikan tindak pidana pokok yang dianggap sebagai harrassment terhadap kepastian hukum, karena kesalahan terdakwa atas tindak pidana pokok merupakan prasyarat bagi perampasan harta kekayaan.
Kejahatan yang berdiri sendiri
Tindak pidana pencucian uang (TPPU) secara karakteristik memang merupakan kejahatan lanjutan (follow up crime) dari kejahatan asal atau kejahatan pokoknya (core crime). Dimana, harta hasil kejahatan asal (proceed of crime) inilah yang kemudian ditempatkan (placement), ditransaksikan (layering) dan diinvestasikan (integration) pada sistem keuangan atau perekonomian. Namun, bukan berarti untuk dapat membuktikan TPPU harus terlebih dahulu dibuktikan tindak pidana asalnya.
Mengingat, antara core crimes dengan follow up crime masing-masing memiliki niat jahat yang berbeda. Misalnya, korupsi sebagai core crimes memiliki niat jahat untuk mendapatkan keuntungan pribadi secara melawan hukum. Sementara, pencucian uang sebagai follow up crimes memiliki niat jahat untuk menyembunyikan hasil korupsi.
TPPU pada beberapa hal memiliki kesamaan dengan tindak pidana penadahan atau heling, yang diatur dalam Pasal 480 KUHP. Dimana, penadahan dilakukan atas benda atau barang hasil kejahatan yang tidak perlu dibuktikan dulu siapa yang bertanggung jawab atas kejahatan tersebut. Saat penyidik menemukan barang-barang yang diperlakukan secara tidak biasa atau mencurigakan (misalnya kendaraan bermotor dalam jumlah banyak tanpa surat-surat yang disembunyikan dirumah kosong), maka terhadap pelaku sudah dapat didakwa sebagai pelaku penadahan.
Dalam proses persidangan, jaksa tidak harus membuktikan bahwa terdakwa penadahan mengetahui secara rinci kejahatan yang dilakukan terhadap barang yang menjadi objek penadahan. Misalnya, apakah barang itu hasil curian, penipuan atau penggelapan. Akan tetapi, terdakwa pendahan patut diduga mengetahui bahwa barang tersebut diperoleh secara tidak sah dengan cara tertentu. Hal ini dapat dilakukan melalui bukti tidak langsung atau petunjuk (circumstantial evidence).
Dari aspek ini saja, sangat jelas bahwa pencucian uang terpisah dengan tindak pidana asal atau tindak pidana utamanya, walaupun secara prinsip berkaitan. Terlebih, norma TPPU yang diatur dengan rumusan pasal dan sanksi sendiri, terlepas dari tindak pidana asalnya, maka hal ini menandakan, TPPU merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri (independent crime). Oleh karenanya, penegakan hukum terhadap TPPU sama sekali bukanlah harrassment bagi ketidakpastian hukum.
Metode berbeda
Jika ditelisik kembali kebelakang, perkembangan rezim anti-pencucian uang tidak terlepas dari aktivitas kejahatan terorganisir (organized crime) dan peredaran gelap narkotika (illicit drugs and narcotic substances). Besarnya jaringan pengedaran narkotika yang pada saat itu dikuasai oleh para kelompok kejahatan terorganisir dan juga terbentuknya jalur peredaran narkotika antara Amerika Serikat, Pakistan, Republik Rakyat Cina dan Jepang, membuat penegak hukum kesulitan untuk menumpasnya.
Jumlah uang yang didapat dari hasil kejahatan berjumlah sangat besar dan sanggup membiayai aktivitas kejahatan berikutnya. Selain itu, mereka dapat menyuap para pejabat publik, termasuk para penegak hukum setempat untuk menutupi kejahatan yang dilakukan.
Hingga tahun 1986, upaya-upaya memerangi narkoba secara tradisional di Amerika Serikat dengan memenjarakan pelaku yang mengedarkan tidak memberikan kesuksesan. Para investigator lapangan menghadapi resiko yang sangat besar karena berhadapan langsung dengan para kriminal yang bersenjata. Belum lagi bukti yang didapat tidak mampu menjerat para bos mafia yang tidak secara langsung terlibat di lapangan.
Pemerintah Amerika kemudian menggalakkan pendekatan berbeda untuk mengejar pelaku kejahatan, yakni mengarah kepada hasil kejahatan (going for the money). Dalam hal ini dengan memotong langsung kepada pusat kejahatannya (head of the serpent) menggunakan konsep perampasan secara pidana dan perdata sebagai langkah awal.
Langkah selanjutnya, insitusi keuangan diminta untuk mengawasi jejak aliran uang, khususnya yang berhubungan dengan transaksi tunai (Pieth dan Aiolfi, 2003). Paradigma penegakan hukum yang dilakukan saat itu tidak lagi sebatas pada pengejaran pelaku, melainkan juga melalui pengejaran terhadap keuntungan ilegalnya (confiscate ill-gotten gains). (Vettori, 2006).
Hal ini yang kemudian bisa menjerat seorang Alphonse Gabriel Capone (Al Capone) ke ‘meja hijau’. Bukan karena aktivitas penyelundupan yang ia pimpin, melainkan atas tuduhan penggelapan pajak. Maka tak dapat dipungkiri, pendekatan anti-pencucian uang lahir dari suatu yang bersifat praktis dan sangat pragmatis, dengan cara yang lebih mudah, namun tetap dalam koridor hukum.
Beranjak dari hal tersebut, lebih mudah untuk dipahami bahwa ada 2 (dua) tujuan yang ingin dicapai dari pelaku pencuci uang, yakni: menjauhkan “uang kotor” dari kejahatan yang menghasilkannya dan memastikan uang tersebut dapat digunakan tanpa resiko adanya pelacakan dan kemudian penyitaan oleh pihak yang berwajib (Stessens, 2003). Dapat pula dikatakan, pencucian uang dilakukan dalam rangka memutus hubungan (nexus) antara (a) pelaku dengan hasil kejahatan; (b) kejahatan dengan hasil kejahatan; dan (c) pelaku, kejahatan dan akses terhadap hasil kejahatan.
Seorang koruptor melakukan pencucian uang untuk memisahkan diri dari setiap bukti dan harta hasil perolehan kejahatan yang bisa menjeratnya atas tuduhan korupsi. Tetapi pada saat yang sama, pelaku ingin tetap mempertahankan kontrol dan akses kepada harta hasil kejahatannya (Utama, 2015). Pelaku seolah-olah membuat harta ilegal tersebut menjauh dari jangkauannya atau bahkan menghilang secara fisik, namun secara substansial atau fungsional, ia tetap dapat menikmati atau memanfaatkan hasil kejahatan tersebut.
Maka, dengan menggunakan regulasi pencucian uang, pada dasarnya penyidik hendak menyeret pelaku tindak pidana asal (korupsi) atas dasar telah melakukan pencucian uang. Berbekal informasi transaksi keuangan mencurigakan, penyidik sudah bisa bergerak menyelidiki lebih jauh tentang terjadinya tindak pidana pencucian uang. Namun, sejumlah bukti pendukung lainnya tetap harus dikumpulkan termasuk hasil pembuktian terbalik sebagai bukti petunjuk (circumtancial evidence). Tatkala, transaksi keuangan dilakukan secara tidak wajar alias mencurigakan dan disisi lain terdakwa tidak bisa membuktikan asal-usul harta kekayaan, maka hakim berdasarkan keyakinanya sudah dapat memvonis seorang terbukti mencuci uang.
Posisi kejahatan asal disini bukan berarti benar-benar hilang. Jika memang pada saat menyelidiki transaksi keuangan mencurigakan, penyidik juga menemukan bukti tindak pidana asal, maka bisa juga kedua-duanya sama-sama dibuktikan di pengadilan. Atau setidaknya, bukti pencucian uang yang sudah terbukti dipengadilan dapat pula dipakai untuk menyidangkan kasus pidana asalnya dikemudian hari.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Dirjen Perundang-undangan, Prof. Dr. Abdullah Gani pada rapat pembahasan RUU Pencucian Uang tahun 2002 di DPR, yang pada intinya mengatakan bahwa: “…Sebenarnya pencucian uang ini bisa merupakan pelengkap dari pemberantasan tindak pidana-tindak pidana yang pokok, misalnya korupsi. Kalau terjaring disini (pencucian uang) mungkin akan bisa sampai lari ke mengusut tindak pidana korupsinya, atau kalau tindak pidana korupsinya tidak kena, bisa tertangkap disini. Kalau dikaitkan bahwa harus dibuktikan terlebih dahulu korupsinya, diproses dahulu, maka pencucian uang ini tidak (akan pernah) bisa diterapkan” (Garnasih, 2003).
Lebih jauh, jika konsep kriminalisasi harta kekayaan yang tidak wajar atau illicit enrichment serta perampasan aset tanpa tuntuan pidana (non-conviction based asset forfeiture) bisa diterapkan dalam sistem hukum di Indonesia, hal ini akan memiliki dampak yang signifikan terhadap upaya pemberantasan korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Mengingat, dengan sejumlah pendekatan yang bercorak “in rem” tersebut, aparat penegak hukum akan jauh lebih mudah mendakwa transaksi keuangan mencurigakan.
Refki Saputra, Project Officer The Partnership for Governance Reform (KEMITRAAN)